Thursday, July 16, 2020

Tips 10 Alasan Kenapa Kamu Harus Jadi Au Pair di Usia 20-an|Fashion Style

Jauh dari rumah, keluarga dan teman dekat, bukanlah hal yang menyenangkan. Belum lagi tugas harian yang cukup menjenuhkan; bangun pagi menyiapkan sarapan, bersih-bersih rumah, hingga mesti menjaga anak orang di malam minggu. Tapi hey, bukankah jalan-jalan ke Eropa adalah impian banyak orang di dunia? Apa saja jalan mu menuju Eropa kalau bukan karena sekolah, bekerja, ikut keluarga, jalan-jalan, volunteering, dan...menjadi au pair?

Seperti penjelasan dari Wikipedia, au pair adalah asisten rumah tangga dari negara asing yang bekerja dan tinggal di rumah keluarga angkat. Normalnya, au pair berbagi tanggung jawab keluarga dengan menjaga anak-anak mereka, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan memperoleh uang saku setiap bulannya.

Salah satu syarat menjadi au pair sendiri adalah anak-anak muda berusia 18-30 tahun. Walaupun au pair adalah pekerjaan yang tidak cocok untuk semua orang, namun menjadi au pair adalah pengalaman yang harus kamu coba di usia 20-an mu.

1. Saat kita belum punya cukup uang travelling ke Eropa, au pair membuka jalan ke banyak tempat disana

Jiwa eksplorasi kita biasanya akan selalu mencari tempat petualangan selanjutnya saat masih muda. Selain Indonesia, impian kita menjelajah ke banyak negara demi melihat tanah Tuhan yang lain selalu menggebu-gebu. Namun dari Indonesia (dilihat dari peta mini pun), Eropa begitu jauhnya.

Belum lagi jumlah tabungan yang jauh dari kata cukup untuk membeli tiket, penginapan, dan belanja-belinji disana. Jika persoalan visa dan izin cuti kerja ditolak, hal tersebut juga membuat kita harus menunda dulu keinginan pergi melihat Menara Eiffel di Paris atau Sagrada Familia di Barcelona.

Saat kamu jadi au pair, travelling ke beberapa tempat di Eropa bukanlah hal yang jauh dari kata mustahil lagi. Kamu tidak perlu repot-repot memikirkan soal visa dan izin cuti kerja, karena hal tersebut sudah menjadi bagian dari regulasi au pair. Visa jangka panjang au pair bisa digunakan untuk menjelajahi banyak negara Schengen yang berjumlah 26.

Kita juga tidak perlu takut izin cuti kerja tidak disetujui bos karena seorang au pair akan dapat jatah liburan 14-30 hari selama setahun. Belum lagi bonus libur Natal dan hari libur nasional lainnya. Jangan juga khawatir karena liburan ini pun uang saku tetap akan dibayar penuh oleh keluarga angkat.

Akhir pekan juga tidak melulu harus jalan ke mall, tapi bisa saja mengunjungi tempat seru di negara lain. Seperti Brussels ke Paris yang hanya bisa ditempuh selama 1 jam naik kereta cepat atau 4 jam naik bus. Atau bisa juga mengunjungi Reykjavik dari Oslo yang harga tiket sekali jalannya sekitar 700ribu dengan menggunakan low budget airlines.

Bayangkan kalau kita melihat Reykjavik yang begitu jauhnya dari Indonesia! Ongkos pesawat sekitar 700ribuan saja bahkan hanya cukup mengunjungi satu kota di Indonesia sekali jalan.

2. Saat merasa tidak cukup pintar meraih beasiswa di Eropa, au pair adalah pilihan lain belajar disana

Di usia produktif, semangat belajar dan rasa ingin tahu kita pasti lebih besar. Apalagi banyak lulusan S1 yang mempunyai keinginan bisa melanjutkan gelar masternya keluar negeri dengan jalan beasiswa. Namun persyaratan dan seleksi demi masuk kampus idaman pun tidak mudah. Selain kemampuan Bahasa Inggris dan IPK yang bagus, kita juga harus mampu berkompetisi dengan para kandidat lain yang juga sama bagus dan pintarnya.

Walaupun au pair tidak menjanjikan gelar di belakang nama, namun au pair juga membuat kita bisa belajar banyak hal dari negaranya langsung. Salah satu kewajiban utama au pair adalah belajar bahasa lokal yang bertujuan memudahkan komunikasi sehari-hari.

Selain kursus bahasa, kita juga bisa sekalian kursus dansa, masak masakan lokal, atau desain dari para masternya. Kebanyakan kursus resmi tersebut biasanya juga memberikan sertifikat selepas masa belajar yang berguna nantinya. Di luar sertifikat itu pun, sebenarnya kita sudah menambah bekal ilmu yang memang harus giat dicari di usia 20-an.

3. Au pair membuat kita berpikiran lebih terbuka terhadap perbedaan dan budaya baru

Di Indonesia, makan tidak makan yang penting kumpul. Malam minggu pun biasanya kita habiskan bersama teman hanya sekedar ngobrol atau kongkow minum bandrek. Berbeda dengan budaya orang Barat yang saat kumpul-kumpul biasanya harus ditemani bir atau gin.

Kalau makan di luar kita cenderung memilih air putih atau jus jeruk sebagai minuman, mereka lebih senang memilih bir atau wine sebagai teman makan. Bagi mereka, minum alkohol memang lebih pas saat bersama teman. Mungkin maksudnya kalau sampai mabuk ada yang menggotong begitu ya? :p

Belum lagi saat di Indonesia kita merasa jijik mendapati pasangan bermesraan di tempat umum, namun di negara Barat kita akan lebih sering melihat pasangan muda bercumbu di tengah jalan. Perbedaan budaya seperti ini biasanya akan membuat kita culture shock di awal karena menemukan banyak hal diluar kebiasaan kita sehari-hari. Namun dengan seringnya travelling dan secepatnya beradaptasi dengan lingkungan baru, kita lebih memandang perbedaan tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperdebatkan.

Kita justru lebih menghargai perbedaan yang ada dan cenderung lebih berpikiran terbuka belajar tentang budaya mereka. Jika di Indonesia kita lebih mengutamakan agama dan budaya sebagai tumpuan bertindak dan tingkah laku, masyarakat Barat tidak terlalu suka membicarakan soal agama yang membuat hidup mereka seperti terblok-blok. Masyarakat Eropa yang juga didominasi oleh atheis, biasanya lebih suka menyangkut pautkan banyak hal dengan sains dan kejadian yang bisa diterima oleh akal sehat.

Bukannya mereka salah, namun dari pandangan mereka yang kritis seperti itu, membuat kita bisa tahu lebih banyak hal tentang dunia ini dari sudut pandang yang berbeda. Pola pikir dan kebiasaan mereka yang sangat menghargai waktu luang juga membuat kita belajar bagaimana memanfaatkan akhir pekan bukan hanya untuk terus-terusan bekerja, namun lebih ke quality time bersama keluarga atau diri sendiri.

4. Menjadi seorang au pair memaksa kita harus menyantap makanan kontinental setiap hari

Di Indonesia, nasi adalah makanan pokok yang harus dimakan minimal sehari sekali. Tidak makan nasi sekali, kita merasa "belum makan", "belum kenyang", bahkan "belum bergizi". Beda halnya saat di luar negeri, pola makan kita pun harus secepatnya beradaptasi dengan kebiasaan makan orang sana. Orang Barat menganut pola makan 2 1; dua kali makan roti, dan sekali makanan hangat. Kalau siangnya sudah makan makanan hangat (berat), malamnya mereka hanya minum kopi dan makan roti. Begitupun sebaliknya, kalau siang hanya makan sandwich, malamnya mereka akan makan besar.

Makanan hangat dan besar ini pun bukanlah nasi plus banyak lauk pauk seperti di Indonesia. Namun biasanya karbohidrat lain seperti pasta atau kentang. Sementara mereka hanya menyediakan satu macam sumber protein seperti daging atau ikan ditambah sayuran mentah sebagai salad. No sambal, no kerupuk.

Sewaktu di Indonesia kita merasa keren makan di restoran Barat dengan menu spaghetti atau steak, tapi banyak au pair yang tinggal di Eropa justru merindukan masakan Indonesia dengan cita rasa bumbunya yang khas. Jangan salah, makanan kontinental di Eropa tidaklah seenak olahan di Indonesia. Orang Barat cenderung tidak terlalu suka makanan terlalu asin, berminyak, berlemak, apalagi pedas. Makanan mereka lebih sering mentah, hambar, dan lebih segar.

Namun bukankah makanan seperti ini lebih cocok dimakan saat usia kita masih 20-an? Bukankah hidup sehat memang harus selalu dimulai dari muda? So, tidak ada lagi saling keren-kerenan makan di restoran Barat karena sejujurnya kita malah sering rindu masakan rumahan dan gerobakan ala Indonesia.

5. Bertemu teman dan orang-orang baru membuat jaringan pertemanan kita makin internasional

Saat menjadi au pair, jaringan pertemanan kita biasanya dimulai dari teman sebaya yang sama-sama menjadi au pair di negara tersebut. Setelah masuk kursus bahasa, kita juga biasanya akan berkenalan dengan banyak imigran yang umurnya berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka belajar bahasa tersebut bertujuan untuk syarat melamar pekerjaan. Lewat mereka, kita biasanya banyak mendapatkan cerita seru tentang banyak hal yang tidak pernah didengar dari teman sebangsa.

Untuk mencari teman-teman sesama au pair, biasanya saya memanfaatkan Facebook. Kita bisa dengan mudah menemukan mereka di grup-grup au pair dan biasanya anggota grup tersebut juga mengadakan gathering sekedar untuk minum kopi atau jalan di akhir pekan. Para au pair yang kebanyakan 20-26 tahun ini punya semangat anak muda yang kronis, sehingga kita pun tidak akan pernah merasa bosan menikmati festival atau nongkrong seru bersama mereka.

Aplikasi sosial media seperti Meetup juga merupakan wadah asik untuk bertemu orang baru dengan hobi yang sama seperti kita. Selain bisa ketemuan dan mengobrol asik seputar minat, kita juga bisa belajar banyak hal dari gathering yang diadakan oleh para host grup. Saya yang tidak pernah tahu cara menghias cupcake, sampai akhirnya mendapatkan kesempatan belajar menghias cupcake dari seorang host.

Saat ada kesempatan, kita juga biasanya masih suka flirting ke bule. Aplikasi semacam Tinder yang begitu populer di Amerika, juga ikut populer di Eropa. Walaupun aplikasi ini menjadi salah satu dating purpose, tapi tak jarang yang diajak ketemuan juga sama-sama mencari teman, bukan pacar. Saya sudah bertemu beberapa cowok bule dengan hobi keren.

Suatu kali saya sempat diajak mengunjungi studio seninya demi sekedar "pamer" karya pahatnya. Karena saya juga suka seni, kunjungan ke studionya pun jadi pengalaman yanglangka. Ada lagi seorang guru musik yang mau datang ke Laarne malam-malam hanya demi segelas air putih dan sebelum pulang pun masih mau dipaksa memainkan piano untuk saya.

Banyak hal seru dan tentunya cerita baru yang bisa kita dapatkan seandainya kita mau membuka diri bertemu dengan orang-orang ini. Karena siapa tahu lewat mereka, kita makin bisa melihat dunia dan berwawasan luas. Oh ya, tak jarang juga orang-orang tersebut bisa jadi teman baik bahkan ehemmm..Pacar!

6. Kita semakin menyadari teman sebangsa sudah jadi keluarga dan tiada matinya ketika di negeri orang

Di usia 20-an biasanya semangat muda kita semakin berkobar demi menemukan jati diri dan teman sejati. Walaupun tidak menutup diri untuk bertemu teman-teman baru dari negara lain, namun ada kalanya juga kita muak harus bicara bahasa asing. Apalagi saat curhat soal pacar dan keluarga, biasanya pola pikir antara yang sebangsa dan yang bukan sebangsa sedikit berbeda.

Orang Barat lebih suka bicara apa adanya dan jujur, sementara orang Indonesia lebih mengedepankan suasana hati dan perasaan senasib. Terkadang saat curhat, kita tidak butuh saran melainkan rasa iba dan telinga saja untuk mendengarkan. Bukannya minta digurui, namun kita hanya ingin dibela.

Di satu waktu, kita juga merasa teman sebangsa sangat jarang ditemukan di negara tujuan. Perasaan rindu bergosip ria tanpa alkohol, ketawa keras-keras saat di kafe, ataupun selfie tanpa malu, maunya dilakukan dengan teman sebangsa. Kita juga merasa kalau jaringan pertemanan dengan teman sebangsa bukanlah sebuah gengsi. Justru teman sebangsa adalah keluarga saat di negeri orang, teman yang bisa diandalkan saat kita kesepian dan sakit.

Bukankah kita juga selalu rindu makanan Indonesia selama berada di luar negeri? Berkumpul bersama mereka membuat kita bisa berbagi peran di dapur saat ingin makan bakso atau nasi goreng. Tapi awas masuk zona nyaman! Karena keseringan berkumpul dengan teman sebangsa ini, banyak juga au pair yang jadi malas bertemu dengan teman baru dan akhirnya teman nongkrongnya hanya yang sebangsa saja.

7. Bekerja paruh waktu sebagai au pair membuat kita bisa menabung mata uang asing

Walaupun konsep au pair di beberapa negara sedikit berbeda; bisa bekerja atau pertukaran budaya, namun setiap au pair pasti mendapatkan uang saku setiap bulannya. Jumlah uang saku ini pun jumlahnya berbeda di tiap negara. Banyak juga anak muda yang mengandalkan au pair sebagai proses mencari uang, namun banyak juga yang memanfaatkan software ini sebagai proses belajar.

Di Eropa sendiri, uang saku yang diberikan kepada au pair berkisar antara ?260 hingga ?Seven-hundred tergantung negara tujuan. Uang saku yang diberikan biasanya disetarakan dengan biaya hidup negara tersebut. Negara mahal seperti Swiss memberikan uang saku maksimum CHF800 (sekitar ?760) kepada au pair yang tinggal di kanton tertentu. Berbeda halnya dengan Jerman yang memberikan uang saku minimum ?260 karena biaya hidup di Jerman yang relatif lebih rendah.

Jika ingin dikonversikan ke rupiah, gaji seorang au pair di Swiss hampir sama dengan gaji seorang manajer di Indonesia. Kalau gaya hidup kita lebih mau sederhana dan sedikit bisa direm, kita pasti menabung uang saku yang diperoleh untuk dibawa ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia, selain bisa ditukar ke rupiah, kita juga bisa menyisihkannya untuk ditabung. Kalau tidak begini, kapan lagi kita bisa punya tabungan mata uang asing kan?

8. Au pair menuntut kita untuk lebih bersih dan bertanggung jawab

Sempat berpikir kalau jadi au pair cukup gampang mengingat tugas yang dilakukan hanya bersih-bersih rumah dan masak. Kita memang tidak perlu pegang sapu setiap hari, kita juga tidak perlu takut tangan kering karena keseringan bersentuhan dengan sabun cuci piring. Namun yakinlah, pekerjaan rumah tangga memang tidak akan pernah cocok untuk semua orang apalagi kalau ketemu host family yang agak cerewet dan perfeksionis, bisa jadi hasil kerja kita selalu kurang di mata mereka.

Kita yang tadinya di rumah bisa santai karena ada si Mbak yang mencucikan baju dan menyetrika, saat di rumah host family, justru pekerjaan itulah yang akan kita kerjakan sendiri. Bukan hanya baju kita seorang, tapi juga baju anggota host family! Masih enak kalau keluarga angkat kita punya cleaning lady yang datang seminggu sekali, karena setidaknya tugas mencuci dan menyetrika bisa berbagi dengannya.

Tapi sesungguhnya pekerjaan apapun memang dibutuhkan rasa tanggung jawab yang besar. Tinggal di rumah orang juga menyuruh kita untuk selalu merapihkan kamar dan menjaga kebersihan lavatory. Hal ini bersifat positif karena kebanyakan anak muda di zaman sekarang justru sudah malas berkenalan dengan tugas rumah tangga seperti memasak dan bersih-bersih rumah. Padahal dengan melakukan hal seperti itu, kita juga akan terbiasa menjadi anak muda yang perhatian dengan kebersihan rumah dan perabotnya.

Nine. Tidak dimanjakan dengan kemudahan transportasi saat di Indonesia, kita diajarkan untuk menghargai waktu dan lebih sering berolahraga

Saya sempat mengutuki sistem transportasi di Belgia yang terlalu on time dan tiba-tiba sering mogok jalan karena sering demo. Hal ini cukup membuat saya mengutuki Belgia habis-habisan hingga merindukan kemudahan transportasi umum di Indonesia. Kita tadinya dimanjakan oleh kehadiran ojek yang bisa mengantar sampai depan rumah, angkot yang bisa stop dimanapun kita mau, ataupun kakak atau adik yang siap antar-jemput saat kita telepon, tapi sesampainya di Eropa harus lebih mandiri.

Transportasi dalam kota yang extraordinary tepat waktu kadang membuat kita harus lebih menghargai setiap detik yang berjalan. Belum lagi jarak halte bus yang kadang cukup jauh, memaksa kita mesti lari-larian agar sampai tepat waktu. Ketinggalan satu menit saja, harus menunggu satu jam berikutnya.

Kejadian paling tragis adalah ketika ketinggalan bus terakhir hanya kurang 2 menit saja. Resikonya kita jadi harus menelpon keluarga angkat untuk direpotkan menjemput, atau bersedia jalan kaki dari stasiun ke rumah. Saya pernah four kali ketinggalan bus terakhir di Belgia, yang membuat saya harus berjalan kaki selama three jam saat hujan di musim dingin!

Jika memang temperatur cukup baik terhadap tubuh, sepeda adalah moda transportasi yang bisa digunakan saat bus bukanlah pilihan. Tapi menggunakan sepeda saat bersalju atau angin kencang juga bukanlah jalan terbaik. Kalaupun memang kepepet, bersikap tidak manja, selalu berpikiran positif, dan mencoba untuk menikmati tiap kayuhan sepeda demi mencapai tempat tujuan adalah hal yang bisa kita lakukan.

10. Karena keluarga angkat yang baik akan selalu bisa menghadiahi kita pengalaman baru dan seru

Keluarga angkat yang berani meng-hire au pair rata-rata adalah keluarga kaya yang biasanya hobi jalan-jalan saat liburan, ataupun punya kondomium pribadi di dekat pantai. Karena sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, kita pun biasanya akan diajak liburan bersama mereka. Liburannya pun tidak main-main, ada yang keluar negeri dengan jet pribadi, hingga berski ria di utaranya Finlandia yang kalau sendirian pun kita pasti malas kesana.

Meskipun beberapa keluarga angkat ada yang membawa au pair mereka hanya sebagai embel-embel untuk menjaga anak saat liburan, namun kesempatan liburan gratis ke banyak tempat adalah kesempatan yang oke. Beberapa teman au pair yang saya kenal juga memiliki pengalaman seru bersama keluarga angkat mereka. Ada yang setiap bulan selalu diajak keluarga angkatnya ke Amerika, ada juga yang sudah naik jet pribadi keluarga angkatnya hingga ke Spanyol, ada juga yang bisa skydiving gratis karena ayah angkatnya, atau pun au pair yang dihadiahi laptop saat Natal.

Memang kita tidak boleh terlalu berekspektasi tinggi dengan semua keluarga angkat. Walau mereka belum bisa menghadiahi kita liburan atau gadget terbaru, namun setidaknya penerimaan baik dari keluarga mereka cukup membuat masa au pair kita kaya akan pengalaman. Lagipula, bertahun-tahun duduk di meja kantoran belum tentu juga bisa mencicipi serunya membuat boneka salju di halaman belakang rumah saat salju.

Au pair memang tidak menjanjikan kita jenjang pendidikan atau pun jenjang kerja seperti pegawai kantoran. Namun kesempatan belajar, melihat dunia, dan bertemu orang-orang baru adalah hal yang seharusnya kita lakukan di usia 20-an.

Bagi saya pribadi, au pair bukan hanya tinggal dan bekerja di Eropa. Tapi juga kombinasi antara tinggal, belajar, bekerja, dan liburan. Justru saat di usia produktif seperti inilah harusnya kita mampu menggunakan masa muda dengan lebih bijak dan bermanfaat.

Tips Mengurus Izin Tinggal Au Pair Denmark|Fashion Style

Berbeda dengan Belgia yang harus melampirkan surat izin kerja (work permit) terlebih dahulu sebelum mengajukan visa, au pair di Denmark bukanlah dianggap sebuah pekerjaan. Untuk mendapatkan visa jangka panjang Denmark, yang harus kita lampirkan adalah surat pengajuan izin tinggal (residence permit) au pair yang berlaku 12 hingga 24 bulan.

Karena saya dan Louise bertemu melalui salah satu internet site au pair Skandinavia, Energy Au Pair, maka dokumen-dokumen yang kami butuhkan sudah diurus oleh pihak agensi. Tidak ada banyak perbedaan jika au pair dan calon keluarga angkat mengurus dokumen tanpa melalui agensi. Yang harus diperhatikan sebelum mengajukan aplikasi visa, hendaknya au pair memastikan apakah calon keluarga angkat bersedia membayar biaya servis pada Danish Immigration Service di Denmark seharga 2400 DKK.

Umumnya, au pairlah yang harus membayar biaya tersebut. Namun dari pihak agensi biasanya akan memberikan tanggung jawab penuh kepada calon keluarga angkat untuk membayar biaya imigrasi ini di Denmark. Kenapa biaya imigrasi sangat penting, karena slip pembayaran resmi dari calon keluarga angkat wajib dilampirkan saat mengajukan visa jangka panjang.

Setelah menyatakan kesepakatan dengan calon keluarga angkat, pihak agensi akan mengirimkan e-mail berisi dokumen yang harus disiapkan serta prosedur pengajuan visa. Berikut dokumen-dokumen yang harus kita siapkan:

1. Surat kontrak antara kita dan calon keluarga angkat. Surat kontrak sekitar 26 halaman ini harus benar-benar teliti saat proses pengisiannya. Ada beberapa poin yang harus kita isi, ada juga yang harus dikosongkan. Karena saat itu calon keluarga angkat saya sudah mengisi duluan, saya hanya perlu mengisi bagian yang diperlukan dan membubuhkan tanda tangan di beberapa halaman;

2. Paspor asli;

three. Fotokopi sampul, halaman biodata, dan seluruh isi paspor yang sudah berisi stempel;

four. Fotokopi ijazah terakhir yang sudah diterjemahkan;

five. Fotokopi akte kelahiran yang sudah diterjemahkan;

6. Surat kuasa (Power of Attorney) dari agensi. Surat ini tidak diperlukan jika au pair dan calon keluarga angkat bertemu tanpa bantuan agensi;

7. Slip pembayaran Case Order ID resmi di Danish Immigration Service oleh calon keluarga angkat;

eight. Foto terbaru berukuran 3.5cm x four.5cm berlatar belakang putih 1 lembar.

PERHATIAN!!!!

Saya membuat visa Denmark ini di tahun 2015, saat semua kontrak kerja masih diisi manual. Mulai tahun 2017, terdapat dua cara pengisian pengisian kontrak kerja; bisa online atau manual. Bagi yang mengisi form secara manual, dokumen dapat diunggah secara langsung melalui situs application portal Danish Agency for International Recruitment and Integration (SIRI).

Berikut cara apply visa Denmark dan dokumen yang harus dipersiapkan (UPDATE 2018):

1. Membuat case order ID

Case ID ini sama dengan biaya aplikasi au pair yang harus kita buat di situs SIRI. Cara membuatnya sangat mudah dan boleh diisi sendiri atau diwakilkan oleh calon keluarga. Sila buat Case ID ke situs berikutdi bagian "Create case order ID".

2. Membayar biaya aplikasi

Setelah membuat case order ID, kamu akan menerima email yang berisi kode dari SIRI sebagai identitas aplikasi. Tahap selanjutnya adalah masuk kembali ke situs SIRI , lihat bagian "Pay the fee", masukkan kode case order ID tersebut, lalu bayar biaya aplikasi sebesar 2755 DKK (tahun 2018). NEED TO KNOW , keluarga angkat tidak berwajiban membayar biaya aplikasi ini! Menurut situs Energy Au Pair, keluarga angkat disarankan membayar biaya aplikasi karena au pair juga harus membayar biaya visa di negara asal. Namun semuanya kembali lagi ke kesepakatan kamu dan keluarga angkat, apakah mereka bersedia menanggung biaya aplikasi.

Three. Cetak slip pembayaran biaya aplikasi

Setelah keluarga angkat atau kamu membayar biaya di atas, kamu akan menerima konfirmasi pembayaran via email. Konfirmasi pembayaran ini dikirim tanpa attachment, jadi silakan cetak isi email tersebut sebagai kelengkapan dokumen.

4. Fotokopi atau scanned copy sampul paspor, biodata, serta seluruh isi lembaran paspor yang kosong ataupun berisi dari depan ke belakang

Yes, you read it right! Dari sampul paspor hijau sampai halaman identitas paling belakang difotokopi secara lengkap, yang berisi maupun kosong.

5. Fotokopi ijazah pendidikan terakhir yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris

Kalau ijazah kamu twin bahasa (Indonesia/Inggris), tidak usah diterjemahkan kembali. Bagi yang menerjemahkan ijazah ke bahasa Inggris, disarankan untuk menerjemahkan ke penerjemah tersumpah merujuk ke situs SIRI.

6. Fotokopi akte kelahiran yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris

Sama seperti halnya ijazah, kalau akte kelahiran kamu sudah twin bahasa, tidak usah diterjemahkan kembali.

7. Mengisi kontrak kerja secara online atau manual

Di tahun 2015, saya dan keluarga mengisi surat kontrak kerja secara manual. Mereka mengisi bagian mereka dahulu, lalu di-scan ke saya untuk saya isi dan ditanda tangani yang bagian saya. Tidak ada masalah kalau kontrak kerja tersebut bukan yang asli.

Kalau kamu ingin mengisi secara manual , kontrak kerja dapat dicetak langsung di situs SIRI , bagian "Complete the application form". Klik bagian tersebut, lalu lihat bagian bawah "Printable application forms". Ada dua pilihan unduhan form, bisa PDF atau Word. Bentuk Word bisa kamu isi langsung sebelum dicetak. Tapi bentuk PDF mesti kamu cetak dahulu lalu isi pakai pena. Jika keluarga angkat lebih tertarik menggunakan cara ini, sila mereka mengisi bagian mereka dulu di Part 2 dan 3, lalu kalau sudah selesai, mereka harus scanned kembali form tersebut untuk kamu isi dan lengkapi.

Cara lainnya adalah mengisi kontrak kerja secara online . Kontrak kerja dapat diubah ke bahasa Inggris kalau kamu bingung. Sila masuk ke situs berikut , lalu lihat di bagian paling bawah halaman. Ada pertanyaan "siapa kamu?", keluarga angkat atau applicant (au pair). Sila pilih "au pair", lalu klik "Næste" (next). Karena kamu harus masuk dengan menggunakan reference number dan password, sila tanyakan kepada keluarga angkat saat mereka sudah selesai mengisi bagian mereka. Saat semua bagian sudah terisi lengkap, kamu harus mencetak kembali form yang sudah diisi online ini untuk ditandatangani dan disertakan saat mengurus visa.

CATATAN!

Saat pengisian form secara online, kamu boleh mengisi, simpan, isi lagi, lalu simpan, sampai formulir betul-betul terisi lengkap. Perlu diperhatikan juga waktu pengisian formulir hanya 30 hari. Setelah batas tersebut, data kamu akan hangus dan harus mengisi ulang.

Selain itu, dalam waktu dua minggu setelah formulir berhasil di-submit, kamu WAJIB datang ke VFS Global untuk menyerahkan dokumen dan mengambil data biometrik. Kalau dalam waktu 2 minggu setelah submit formulir kamu tidak juga datang ke VFS, aplikasi kamu akan ditolak sepenuhnya oleh imigrasi Denmark. Imbasnya, kamuharus mendaftar dan membayar ulang biaya aplikasi serta mengajukan surat banding (jika diperlukan). So, atur waktu kamu sebaik-baiknya sebelum mantap datang ke VFS.

Setelah semua dokumen siap, silahkan datang ke:

Danish Visa Application Center

Kuningan City Mall Lantai 2

Jalan Prof. DR. Satrio Kav. 18

Jakarta 12950

Website: www.Vfsglobal.Com/Denmark/Indonesia

Email: infodenmark.Indo@vfshelpline.Com

Jadwal Aplikasi: 8.00 - 12.00 dan 13.00 - 15.00 (Senin-Jumat) Kecuali Hari Raya/Libur

Loket pengajuan aplikasi Denmark sendiri berada dalam satu ruangan dengan loket pengajuan aplikasi Italia, Norwegia, Swedia, yang tergabung dalam VFS Global. Untuk mengumpulkan persyaratan dokumen jangka panjang, pemohon tidak perlu membuat janji temu terlebih dahulu (tahun 2015).

Tahun 2018, VFS tidak lagi menerima pemohon tanpa booking janji temu terlebih dahulu. Agar waktu kunjungan mu lebih maksimal, silakan buat janji temu 7-14 hari sebelum datang ke VFS lewat situs mereka disini. Setelah membuat janji temu, jangan lupa juga mencetak bukti konfirmasi untuk dibawa ke VFS.

Setelah pemeriksaan kecil sebelum masuk ruangan dan menonaktifkan segala macam gadget, petugas akan memberikan nomor antrian. Setelah sampai giliran kita, petugas loket akan memeriksa kembali dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Kalau semuanya sudah lengkap, pemohon bisa langsung membayar biaya visa.

Saat mengajukan aplikasi visa (Juni 2015), biaya yang harus saya keluarkan totalnya Rp. 3.320.000 dengan rincian:

Biaya visa au pair                 Rp. 2.880.000

Biaya layanan VFS Global   Rp.    390.000

Biaya kurir (tambahan)         Rp.      50.000

VFS tidak menerima pembayaran dengan kartu kredit/debit ya, jadi silakan siapkan uang tunai sebelumnya. Karena saya tinggal di Palembang dan tidak mungkin kembali ke Jakarta beberapa bulan kemudian hanya untuk mengambil paspor, maka saya menggunakan layanan tambahan kirim paspor ke rumah yang biaya kirimnya sendiri tergantung daerah tinggal pemohon.

Setelah proses pembayaran, petugas loket akan mempersilakan kita kembali menunggu antrian pengambilan statistics biometrik. Proses ini berupa pengambilan sidik jari dan foto yang hanya berlangsung 5 menit. Semuanya selesai dan kita boleh pulang.

Selanjutnya adalah proses wawancara di Kedutaan Besar Denmark yang letaknya masih di Kuningan (tidak jauh dari Mall Ambassador). Untuk proses wawancara di Kedutaan Besar Denmark, pemohon harus membuat janji temu terlebih dahulu via telepon. Sayangnya karena saya datang Jumat siang saat mengajukan aplikasi visa, janji temu baru bisa dilakukan hari Senin pagi. Saat ditelepon, Ibu Wita, staf Kedubes Denmark, mengatakan kalau wawancara baru bisa dilakukan hari Selasa jam 9 pagi.

Kedutaan Besar Denmark

Menara Rajawali, twenty fifth Floor

Jl. DR Ide Anak Agung Gde Agung

Kawasan Mega KuninganJakarta 12950

Tel  +62 (21) 576 1478Fax +62 (21) 576 1535

Website: http://indonesien.Um.Dk

Email: jktamb@um.Dk

Jam kerja: 8.00 - 16.00 (Senin - Kamis) & 8.00 - 13.00 (Jumat)

Karena wawancaranya pagi, saya langsung membawa tas tangan berisi pakaian kotor ke Kedubes. Dengan asumsi wawancara yang hanya sebentar, saya bisa langsung pulang ke Palembang sorenya. Dari Jakarta Pusat tempat saya menginap, sekitar jam setengah 8 saya sudah naik mikrolet ke arah Kampung Melayu, lalu lanjut mikrolet sekali lagi ke arah Kuningan dan stop di depan Mall Ambassador. Hanya berjalan kaki sekitar 7 menit dari lampu merah, sudah sampai di Menara Rajawali yang berwarna jade green.

Setelah registrasi di lobi dan menempelkan tanda pengenal, saya langsung menuju lantai 25. Masuk ke kantor Kedubes Denmark, saya langsung disambut Ibu Wita di lobi. Ibu Wita sempat mempertanyakan kenapa bisa telat 16 menit dari waktu janjian. Alasan klise ibukota; macet. Untungnya Ibu Wita terlihat sudah terbiasa mendengar alasan tersebut dan langsung mengantarkan saya menuju satu ruangan di pojokan.

Di ruangan tersebut saya disambut seorang wanita muda berkebangsaan Denmark bernama Ms. Hanna, yang akan mewawancarai pagi itu. So, wawancaranya totally English! Saya cukup santai dan tidak terlalu grogi menghadapi pertanyaan Ms. Hanna, karena yang ditanyakan semuanya tentang diri pribadi, jadwal kerja, calon keluarga angkat, dan juga motivasi kenapa ingin jadi au pair di Denmark.Saat tahu pendidikan terakhir dan pengalaman kerja sebelumnya, sempat tiga kali Ms. Hanna bertanya-tanya kenapa saya ingin jadi au pair (lagi).

Setelah proses wawancara sekitar 30 menit selesai, Ms. Hanna mempersilakan saya keluar sebentar dari ruangan untuk duduk di ruang tunggu. Sebuah majalah berbahasa Inggris cukup menyita perhatian karena memang hanya majalah itulah yang ada di meja. Majalah ini berisi cerita pengalaman para expat yang tinggal di Jakarta tentang buruk dan baiknya ibukota. Sebenarnya majalah ini benar-benar menarik untuk dibawa pulang dan dibaca-baca lagi.

Sayangnya 10 menit kemudian, Ms. Hanna memanggil saya kembali dan menyuruh memeriksa kembali halaman-halaman hasil cetakan pertanyaan dan jawaban saat wawancara tadi. Kalau semuanya oke, saya bisa langsung menandatangani surat persetujuan, dan selesai. Ms. Hanna memandu saya keluar ruangan, memberi majalah tentang Sekilas Denmark untuk bahan bacaan, berjabat tangan, lalu mengantar keluar kantor Kedubes Denmark dengan senyum ramah.

TOP TIP

1. Datanglah di jam kerja efektif dari Senin-Rabu pagi saat mengajukan aplikasi visa di VFS Global. Hal ini untuk mengantipasi tinggal lebih lama di ibukota jikalau kalian memang berasal dari luar Jakarta seperti saya. Proses pengajuan visa sendiri sebenarnya hanya satu jam (tergantung antrian), namun datang lebih pagi membuat beban berkurang dan kerjaan cepat selesai.

2. Sebelum datang ke VFS Global, periksa lagi dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Jangan sampai ada satu dokumen penting yang tertinggal dan bisa membuat kita bolak-balik mengambilnya. Jangan sampai mengalami kejadian seperti saya, karena lupa membawa map berisi slip pembayaran di Danish Immigration Service, saya mesti kembali lagi ke penginapan di Rasuna Said dengan ojek. Untung penginapannya masih di Rasuna Said, bagaimana kalau saya menginap di kosan teman di Jakarta Pusat? Padahal hari itu Jumat dan saya hanya punya waktu 1 setengah jam untuk kembali lagi ke VFS Global sebelum kantornya tutup.

3. Dibandingkan membawa uang tunai dalam jumlah yang besar ke Kuningan City Mall, sebaiknya tarik tunai uang melalui ATM Center yang ada di dalam mall saja. Sebelum masuk ke ruangan VFS Global tariklah uang secukupnya karena hanya uang tunai yang diterima untuk membayar aplikasi visa.

4. Setelah membuat janji temu, datanglah ke Kedubes on time dan berpakaianlah rapih. Karena tidak perlu mengantri, staf Kedubes Denmark hanya akan mewawancarai pemohon yang sudah membuat janji temu terlebih dahulu. Jadi kalau hari itu hanya kita sendiri yang membuat janji temu, jangan sampai membuat staf Kedubes Denmark bete menunggu karena telat.

5. Tidak perlu cemas tentang pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan staf Kedubes Denmark nantinya. Pertanyaan tersebut hanyalah pertanyaan ulangan dari formulir isian di surat kontrak yang sudah kita isi dan tanda tangani dengan calon keluarga angkat. Jawablah dengan tegas dan jangan tegang karena yang mewawancarai pun sebenarnya tidak galak.

6. Berlatih menjawab pertanyaan dengan Bahasa Inggris sebelum proses wawancara adalah cara terbaik. Tidak perlu harus matang secara grammar dan sangat terstruktur, namun setidaknya kita mengerti apa yang ditanyakan dan mampu menjawab dengan baik.

Walaupun kabarnya wawancara tersebut hanyalah formalitas belaka dan pasti disetujui visanya, namun jangan anggap remeh dulu. Bahasa Inggris kita justru juga akan dinilai oleh staf tersebut dan akan ikut dilampirkan sebagai bahan pertimbangan Kerajaan Denmark. Seingat saya, Bahasa Inggris tertinggi ada di poin ke-5 yang menyatakan pemohon sudah bisa berbicara Bahasa Inggris dengan sangat baik (level akademik). Poin 1 dan 2 justru menyatakan pemohon belum mampu berbicara Bahasa Inggris dengan baik dan ditakutkan akan kesulitan berkomunikasi dengan keluarga angkat nantinya.

7. Jangan sampai terjebak beberapa pertanyaan yang sebenarnya malas kita jawab, seperti;

"Apa alasan kamu jadi au pair?"

"Kenapa kamu ingin jadi au pair di Denmark?"

"Apa saja yang kamu tahu tentang Denmark?"

"Apa yang akan kamu lakukan/rencana selepas program au pair di Denmark?"

Persiapkan jawabannya sedetail mungkin ya. Bahkan saya juga terpaksa harus sedikit membual menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Yang jelas, jangan terlalu kelihatan motivasi tentang "uang saku yang tinggi", "embel-embel traveling gratis", atau "ingin tinggal yang lama di Eropa". Karena sesungguhnya au pair di Denmark bukanlah ajang cari uang, jalan-jalan, atau ngegembel tanggung.

8. Pemohon yang mengajukan aplikasi visa au pair setelah tanggal 1 Juli 2015 akan diberlakukan regulasi baru. Ada beberapa persyaratan yang sedikit diubah seperti umur minimum pemohon 18 tahun, uang saku yang naik jadi 4000 DKK perbulan (sebelum pajak), hari libur, dan informasi lainnya.

Wajib baca sebelum kamu tiba di Denmark!

Mitos dan fakta au pair di Skandinavia

Tips Kenapa Jadi Au Pair di Denmark?|Fashion Style

Melanjutkan cerita pencarian keluarga angkat di tahun kedua , sehari setelah wawancara dengan Louise, si ibu Denmark, esoknya dia langsung mengirimkan saya jadwal pekerjaan via email. Sejauh yang saya baca, tidak ada pekerjaan yang terlihat terlalu memberatkan. Semuanya terkesan oke-oke saja dan Louise mengatakan akan kembali menghubungi karena dia masih punya jadwal wawancara dengan dua kandidat lainnya.

Dua hari kemudian, sebuah electronic mail dari Energy Au Pair mengatakan kalau keluarga Louise sudah mengkonfirmasi untuk menerima saya sebagai au pair mereka. Padahal saat itu saya masih dan sedang dalam proses diskusi dengan beberapa keluarga lain di Belanda. Walaupun sudah oke dengan jadwal kerja yang ditawarkan Louise, tapi saya tidak tahu kalau dia sudah mengkonfirmasi langsung ke pihak agensi dalam waktu secepat itu.

Jujur saja, saya sebenarnya belum berani mengatakan "siap a hundred% jadi au pair di Denmark" saat membalas email Louise. Beberapa pertanyaan lainnya seputar tugas dan jam kerja tetap saya tanyakan ke Louise demi mengulur waktu. Di saat yang bersamaan, saya juga masih sibuk berbalasan e-mail dengan dua orang keluarga di Belanda yang menurut saya juga oke-oke.

Pertanyaan-pertanyaan yang cukup menegaskan "belum cukup siap ke Denmark" akhirnya membuat Louise bertanya kembali apakah saya benar-benar mau menjadi au pair untuk keluarga mereka. Louise benar-benar menyadari kalau saya sedang dalam keraguan dan sepertinya banyak pertimbangan di otak saya saat itu.

Setelah beberapa hari bimbang tentang keputusan memilih keluarga mana yang oke, akhirnya saya tetap memilih Denmark dibandingkan Belanda. Dua negara ini memang bukan negara tujuan awal saya. Kedua negara ini juga "sudah" memiliki reputasi cukup buruk di mata saya mengenai kekerasan pada au pair. Lalu kenapa tetap ingin ke Denmark DAN jadi au pair lagi?

Saya belum pernah ke Denmark, tapi pernah mampir dan mendengar banyak cerita tentang Belanda dari teman-teman au pair yang sebelumnya pernah kesana. Banyak yang mengatakan, dibandingkan Denmark, kehidupan di Belanda lebih seru dan rame. Warga Belanda yang juga cenderung ramah dan open dengan orang baru membuat negara ini banyak kelebihannya. But well, it's all about my gut!

Saya percaya tiap negara itu punya kelebihannya masing-masing. Dari namanya saja, Denmark memang tidaklah setenar Belanda, Perancis, atau Jerman. Bahkan banyak juga yang tidak tahu letak geografis Denmark itu tepatnya di Eropa bagian mana. Tapi saya memang bukanlah orang yang cukup percaya tentang "kata orang" sebelum saya sendiri melihat dan merasakannya. Lagipula, Belanda sudah terlalu mainstream sebagai tujuan au pair Indonesia.

Sebenarnya saya juga belum kenal negara-negara Skandinavia sebelumnya. Pernah masuk jadi salah satu member MLM kosmetik asal Swedia, membuat saya akhirnya penasaran dengan Stockholm dan kota-kota di negara Skandinavia lainnya. Sebelum jadi au pair di Belgia, seorang teman juga sudah berpesan ke saya untuk sesegera mungkin melihat Aurora Borealis di langit Eropa Utara saat musim dingin. Keinginan ini sebenarnya adalah keinginan pribadinya si dia yang memang belum bisa tercapai. Denmark memang masuk ke bagian Eropa Utara dan sudah cukup dekat ke Norwegia utara yang katanya bisa lebih jelas melihat Aurora Borealis saat musim dingin. Sewaktu di Belgia, keinginan untuk melihat cahaya utara ini memang sudah ada. Namun karena keterbatasan dana dan waktu, akhirnya keinginan ini harus saya tunda dulu. That's the point!

Dibandingkan Amsterdam, Kopenhagen pernah menjadi peringkat pertama kota teraman di dunia. Sementara tahun ini, lagi-lagi Kopenhagen masuk di antara 10 kota yang layak huni di dunia. Walaupun nantinya saya tidak tinggal di ibukota, tapi jarak kota yang akan saya tinggali hanya sekitar 12 km dari Kopenhagen. Lagipula, Denmark memang sudah mendapatkan reputasi baik sebagai negara dengan tingkat kriminalitas yang sangat rendah. Intinya negara ini benar-benar nyaman untuk ditinggali deh!

Denmark terkesan lebih artistik dan cultural menurut saya. Oke, ini sedikit subjektif. Saya juga mungkin tidak sepenuhnya mengeksplor Belanda dengan lebih baik. Tiap tahun Kopenhagen selalu terlibat dalam penyelenggaraan salah satu acara fashion terbesar, Copenhagen Fashion Week, yang menegaskan bahwa warga Kopenhagen memang stylish dan memiliki desainer oke.

Sementara banyak yang mengatakan Belanda memang penuh sejarah, namun anti-style. Saya memang bukan pengikut tren yang hedonis, tapi selain Copenhagen Fashion Week, banyak juga competition kebudayaan dan seni di ibukota sering diselenggarakan dengan akses yang mudah bagi pengunjung.

Dibandingkan Danish dan Dutch, jelas saja saya lebih memilih Dutch. Saya sudah pernah belajar dan menguasai Bahasa Belanda level dasar sebelumnya. Akan lebih baik jika saya memang memilih Belanda sebagai tujuan au pair untuk meneruskan level Bahasa Belanda lebih lanjut. Sementara Bahasa Denmark, tidak terlalu penting untuk dipelajari kan ya? Tapi, eh, tapi, bahasa Denmark mirip-mirip Bahasa Swedia dan Norwegia. Bukankah lucu juga mempelajari Bahasa Denmark yang mungkin nantinya bisa sekalian mengerti sedikit Bahasa Swedia atau Norwegia?

Walaupun saya juga belum tahu apakah nanti Bahasa Denmark akan berguna untuk karir di masa mendatang, tapi bukankah sebagai au pair ini memang kewajiban? Bahasa Inggris saja tidak akan cukup untuk berkomunikasi dengan host kids maupun orang lokal. Meskipun yang saya tahu orang Denmark umumnya bisa berbahasa Inggris dengan baik, namun akan lebih baik mempelajari satu bahasa bukan untuk tujuan tertentu melainkan komunikasi sehari-hari.

Saat berdiskusi dengan Louise dan keluarga Belanda lainnya, yang paling royal memang keluarga dari Denmark. Mereka bersedia menanggung tiket PP, asuransi, biaya administrasi Danish Immigration Service, dan uang saku di Denmark juga lebih tinggi dibandingkan Belanda. Per tanggal 1 Juli 2015, uang saku au pair di Denmark dinaikkan menjadi minimum 4000DKK (sebelum dipotong pajak 8%). Prinsip saya untuk jadi au pair, mengeluarkan biaya seminim mungkin. Setidaknya, biaya yang saya habiskan cukuplah untuk mengurus visa di Jakarta saja.

Oke, biaya hidup di Denmark memang lebih tinggi 20 hingga 30 persen ketimbang Belanda, wajar jika uang sakunya juga tinggi. Seorang teman eks au pair di Belanda juga mengatakan kalau sebenarnya keluarga Belanda banyak juga yang mau menanggung tiket pesawat PP, biaya kursus, dan biaya lainnya, tergantung tawar-menawar. Tapi karena tawaran dan jadwal kerja dari Louise lebih reasonable, akhirnya saya tetap memilih Denmark sebelum berdiskusi lebih jauh dengan keluarga di Belanda.

Diri saya, semoga ini benar-benar keputusan yang terbaik!

Wednesday, July 15, 2020

Tips Pesta Menyambut Kelahiran Bayi ala Maroko|Fashion Style

Dua minggu pertama tinggal di Belgia, keluarga angkat saya sedang sibuk-sibuknya menyiapkan persalinan anak kedua mereka yang diberi nama Issa. Si ibu yang tadinya berharap si anak kedua ini akan lahir di tanggal yang sama dengan kakaknya, 24 Maret, meleset menjadi five April 2015.

Dua hari setelah persalinan, saya baru bisa menjenguk si ibu di rumah sakit. Karena pihak keluarga sedang sibuk-sibuknya, saya mesti datang ke rumah sakit sendirian. Mereka hanya memberikan alamat dan juga nomor kamar di CHU Brugmann - Victor Horta Site. Berhubung tempatnya sering dilewati, akhirnya saya bisa sampai disana lewat bantuan Google Maps setelah muter-muter kebingungan. Mencari kamarnya pun tidak gampang, karena saya mesti bertanya dulu dengan beberapa perawat yang lewat. Alhamdulillah mereka berbicara bahasa Inggris dengan baik dan sangat membantu.

Sama seperti di Indonesia, saat mengunjungi orang di rumah sakit, biasanya kita membawakan buah tangan dari rumah. Sayangnya karena bingung mesti membawa apa, akhirnya saya kesana dengan tangan kosong. Padahal menurut budaya Barat, membawakan bunga sebagai tanda "selamat atau ikut merayakan kebahagian" merupakan hal yang layak walaupun tidak penting.

Bukan hanya tamu yang membawakan bunga atau hadiah, namun keluarga pasien biasanya juga menyiapkan suvenir sebagai ucapan terima kasih. Karena bayinya laki-laki, keluarga saya memang sudah mendekorasi kamar dengan nuansa biru muda dan kuning. Suvenir yang disediakan pun lucu-lucu dan semuanya bisa dibawa pulang oleh tamu. Ada garam mandi yang juga berwarna biru dan kuning, popcorn manis dan asin, bunga mini dan potnya, dan juga cokelat berwarna sama. Tamu-tamu yang datang pun memang tidak semaruk dan sekiasu (stereotip tidak mau rugi) orang Indonesia. Jadi mereka hanya membawa pulang barang yang mereka suka dan itupun jumlahnya tidak lebih dari satu.

Satu bulan kemudian, tepatnya di bulan Mei, akan diadakan lagi pesta menyambut kelahiran Issa oleh para kerabat si ibu dan bapak. Awalnya saya berpikir mungkin pesta ini sama dengan aqiqahan di Indonesia; mengundang orang banyak, potong rambut bayi, lalu rebutan bendera uang. Namun ternyata berbeda dengan tradisi Maroko.

Untuk menyambut kelahiran bayi baru, si ibu akan mengadakan pesta yang hanya dihadiri oleh wanita. Sementara beberapa minggu kemudian, si bapak yang akan mengadakan syukuran sederhana dan hanya akan dihadiri oleh para lelaki saja. Tradisi memisahkan lelaki dan wanita dalam sebuah pesta ini memang sudah jadi khas orang Arab. Walaupun Maroko masuk ke dalam wilayah Afrika, namun budaya mereka mirip dengan budaya orang Arab yang sedikit sentimentil untuk urusan lelaki dan wanita. Sementara cukur rambut sudah dilakukan di rumah sakit tempat si ibu melahirkan disaksikan para keluarga saja.

Karena acara akan digelar pada Sabtu malam, saya datang sore harinya setelah jalan-jalan dulu di Brussels. Karena hari itu adalah hari libur saya, si ibu memang tidak masalah kalau saya datang belakangan. Banyak juga anggota keluarga yang masih membantu merangkai bunga dan menyusun makanan-makanan kecil di ruangan saat saya datang kesana.

Lokasi pesta berada di wilayah terhijau di Brussels, Tervuren, yang sedikit jauh dari pusat kota. Tempat ini pun menjadi tempat yang sama saat si ibu dan bapak menikah dulu. "Jadinya seperti nostalgia beberapa tahun lalu", kata si ibu.

Yang saya sangat suka dari pestanya orang Barat adalah mereka sangat mempertimbangkan soal dekorasi. Walaupun keluarga angkat saya yang dulu orang Maroko, namun karena mereka lahir dan besar di Belgia, gaya hidup mereka sudah beradaptasi dengan budaya Barat. Karena ini pesta wanita alias emak-emak, para emak ini akan membawa anaknya juga ke pesta. Agar si emak bisa leluasa berpesta dengan temannya, si anak biasanya akan dibuatkan pojokan khusus dengan tujuan mereka bisa betah berlama-lama di pesta. You know-lah ya kalo emak-emak udah pesta. Lama boookkk..

Jam 6 sore, si ibu dan keluarga wanitanya lagi asik berhias. Sementara saya sendiri masih kucel menjaga Ines yang masih sibuk bermain kesana kemari. Sekitar jam 8 malam, saya baru niat ganti baju dan berhias di toilet. Sebelum saya berangkat ke Belgia, si ibu memang sudah mewanti-wanti untuk membawa pakaian pesta ke Belgia. Karena bingung juga pestanya nanti seperti apa, akhirnya saya bawa saja outfit yang sangat Indonesia, batik!

Walaupun pesta ini khusus untuk para wanita, si bapak, kakek, adik, kakak, dan keponakannya si ibu yang laki-laki juga ikut datang. Mereka berada di lantai paling atas, terpisah dengan para tamu. Intinya mereka tetap tidak boleh turun ke bawah. Walaupun tersembunyi, mereka tetap rapi memakai jas dan sepatu pantofel, lho!

Lucunya, meskipun sudah di Belgia, tetap saja masih ketemu budaya ngaret. Acara yang harusnya mulai jam 9 malam, jadi mundur jam 10 malam menunggu tamu datang. Para emak-emak, nenek-nenek, dan gadis muda yang datang semuanya cantik-cantik. Mereka yang tadinya memakai jilbab atau hijab dan keluar rumah tanpa make up sedikit pun, tampil semalam bak putri dan ratu. Mereka melepas semua atribut muslimah tersebut, berdandan dengan polesan make up warna-warni, serta mengeriting ataupun menyanggul rambut mereka dengan heboh. Gaun-gaun yang mereka pakai pun seksi-seksi hingga membuat saya lupa kalau tampilan mereka sehari-harinya sangat konservatif.

Acaranya pun tidaklah serumit di Indonesia yang penuh pidato bergilir dari sana sini. Saat kursi tamu sudah mulai terisi penuh, para pelayan yang juga semuanya wanita masuk ke dalam ruangan membawakan appetizer berupa sup tomat. Selanjutnya acara hanya diisi dengan nyanyian khas Arab-Maroko yang diiringi tabuhan gendang dari grup musik yang semua personelnya wanita berjilbab panjang, bahkan memakai burqah. Sayangnya, para perempuan tersebut menolak saat fotonya akan saya ambil.

Jangan berpikir dulu kalau musik pengiring ini mirip grup-grup rebana ibu-ibu pengajian di Indonesia. Alunan musik-musik yang dimainkan justru sangat asik dan nge-beat. Semakin malam, tempo musiknya pun semakin kencang dan membuat semua tamu bergoyang di depan. Tujuan pesta ini memang seperti itu, bernyanyi dan bergoyang. Karena semuanya wanita, tidak ada yang merasa malu bergoyang heboh menunjukkan perut atau pinggul mereka. Namun karena mayoritas wanita ini memakai jilbab kesehariannya, saya tidak bisa menampilkan foto kehebohan dan keseruan mereka saat menari.

Karena tugas menyebalkan menjaga Ines dan mengawasi anak-anak tamu lainnya, saya tidak bisa sering-sering masuk ke ruang pesta yang hangat. Jadinya cuma bisa mengamati pesta wanita ala Maroko tersebut dari pintu yang terbuka lebar. Pojokan anak dan ruangan pesta memang terletak di ruang yang berbeda.

Yang saya sebal dari pesta orang Barat adalah mereka benar-benar mengutamakan keseruan acara ketimbang memikirkan makanan. Di Indonesia, kita bisa saja datang sangat terlambat di pesta pernikahan seseorang hanya demi makan siang. Sementara di sini, saya mesti menunggu menu utama datang hampir jam 2 pagi. Untungnya karena banyak makanan di pojokan anak, tidak terlalu kelaparan. Hiks..

Jam setengah 2 pagi, salah seorang pelayan mengantarkan makanan utama berupa ikan yang hanya dibubuhi garam dan lada, serta beberapa potong kentang. Menurut saya, menu utama  ini benar-benar tidak sebanding dengan rasa kelaparan di tengah kedinginan musim semi. Meskipun berada dalam satu gedung, saya bertugas di bagian luar ruangan pesta yang tetap saja dingin di tengah malam.

Acara hampir selesai setelah pelayan mulai mengantarkan makanan penutup berupa kue-kue manis khas Maroko. Musik pun biasanya dimainkan dengan tempo semakin cepat dan seru. Kalau sudah sangat cepat seperti itu, tandanya pesta akan usai. Benar saja, jam setengah three teng pesta ditutup dan para tamu mulai meninggalkan lokasi.

Berbeda dengan para emak yang berpesta heboh di gedung, sekitar dua minggu kemudian giliran si bapak yang mengadakan pesta di rumah. Rumput-rumput yang memenuhi halaman depan rumah pun mulai ditebas dan dibersihkan. Tenda-tenda putih sederhana didirikan sehari sebelum pesta digelar. Meja-meja bundar mulai disusun di halaman untuk menyambut tamu.

Tidak ada alunan musik heboh seperti pestanya emak-emak, acara si bapak hanya diisi dengan makan, makan, dan makan lagi. Tamu-tamu kenalan dan temannya si bapak datang, duduk di kursi yang telah disediakan, lalu menunggu makanan datang. Makanan yang disajikan pun lebih sederhana dan sangat khas Maroko. Dalam satu piring bulat besar biasanya berisi daging sapi atau kambing yang dikare dan dengan roti baguette besar-besar. Satu meja, satu piring, sehingga makannya pun rame-rame. Acara yang digelar siang hari ini pun hanya berlangsung sekitar 3 jam sebelum akhirnya ditutup lagi dengan menyediakan kue-kue manis Maroko.

Tips Akhirnya Visa Denmark Saya di-Issue!|Fashion Style

Proses menunggu visa Denmark kali ini benar-benar membosankan. Apalagi saya di rumah hanya menganggur dan tidak ada kegiatan berarti. Sudah ada desakan dari pihak keluarga untuk mencari pekerjaan saja di Indonesia. Jujur saja, saya juga sudah pasrah kalau memang visa ditolak karena alasan tertentu. Saya juga sudah siap mencari pekerjaan dan menetap saja di Indonesia. Tapi Alhamdulillah visa akhirnya disetujui tanpa kendala apapun.

Visa jangka panjang Denmark membutuhkan waktu maksimum 2 bulan sebelum disetujui pihak kerajaan Denmark. Berbeda jika kita ingin mengajukan visa turis atau visa jangka pendek yang hanya 15 hari kerja. Tepat dua bulan semenjak mengajukan aplikasi visa di VFS Global, lalu esoknya wawancara di Kedubes Denmark, saya dikabari kalau visa Denmark saya sudah disetujui. Ibu Wita, resepsionis kedutaan, menelpon untuk memberikan informasi lebih lanjut melalui email. Setelah dikonfirmasi ulang via email, Ibu Wita mengirimkan surat keterangan elektronik dari Danish Labor and Recruitment Service, serta ilustrasi visa yang akan ditempelkan di paspor. Surat keterangan dari pihak Denmark ini sangat jelas berisi informasi penting tentang status, hak dan kewajiban sebagai au pair, serta mengenai izin tinggal.

Sempat ada sedikit keraguan kalau saja visa akan ditolak. Apalagi pihak keluarga yang memang sudah enggan memberikan izin tinggal di luar negeri untuk kedua kalinya, pastilah sangat bahagia seandainya saya tidak jadi berangkat.

Sebenarnya tidak ada alasan pemerintah Denmark untuk menolak visa au pair karena biasanya syarat dan jaminan dari keluarga angkat yang dibutuhkan memang sudah lengkap. Mungkin saja memang ada yang visanya pernah ditolak, namun kemungkinan tersebut kecil sekali. Apalagi kalau dari awal kita memang sudah memenuhi kualifikasi menjadi au pair di Denmark.

Karena saya sudah meminta paspor dan dokumen lainnya dikirimkan via pos, dua hari kemudian kiriman dari VFS Global pun datang. Kiriman yang berisi paspor dan print out surat keterangan dari Danish Labor and Recuitment Service tersebut sangat aman dan tidak rusak sedikit pun. Surat keterangan ini jangan sampai hilang dan harus dibawa saat mengajukan CPR number di Denmark. Jangka waktu visa yang diberikan pun hanya sampai 180 hari, yang artinya saya hanya punya waktu 5 hari untuk mendapatkan nomor induk penduduk atau CPR number saat pertama kali mendarat di Denmark.

Tivoli, I'm coming!

Tips Membuat SIM Internasional di Jakarta|Fashion Style

Belajar dari pengalaman tahun lalu di Belgia, akhirnya saya memutuskan untuk membuat SIM internasional sebelum keberangkatan ke Denmark. Saya yang biasanya jadi sopir, harus absen setahun di belakang kemudi. Tidak ada yang salah cuma jadi penumpang, tapi kadang kerinduan tancap gasoline di jalanan terasa majemuk.

Apalagi sewaktu harus belanja di supermarket di komune sebelah, saya mesti pasrah mengayuh sepeda dengan keadaan angin dan cuaca yang dingin. Padahal saat itu ada mobil menganggur di rumah yang bisa digunakan. Tapi karena ketiadaan SIM yang valid, saya juga takut menggunakan mobil tersebut. Padahal jarak tempuh supermarket itu hanya 5 menit naik mobil, namun harus ditempuh selama 15 menit menggunakan sepeda. Saya juga harus menggendong ransel berat berisi belanjaan, lalu menggantung dua tas besar di stang sepeda yang isinya juga barang belanjaan. Menyedihkan sekali!

Sebelum ke Belgia, saya memang sudah berniat membuat SIM internasional di Jakarta. Tapi karena saat itu keluarga angkat yang pertama tidak butuh orang yang bisa menyetir, akhirnya saya urungkan saja. Lagipula kalaupun harus menyetir, katanya SIM dapat dibuat langsung di Belgia dan biaya ditanggung oleh mereka sepenuhnya.

Berbeda dengan keluarga angkat yang kedua, mereka sebenarnya membutuhkan orang yang memang bisa menyetir. Walaupun setiap hari saya bisa menggunakan sepeda, tapi kadang mengantar jemput mereka naik mobil ke sekolah adalah jalan terbaik saat cuaca sedang buruk. Keluarga yang kedua ini pun sering kali meninggalkan mobil van mereka di rumah. Saat cuaca sedang bagus, mereka malah lebih memilih naik sepeda berdua ke kantor. Makanya saat awal-awal tinggal di rumah mereka, dua mobil di rumah selalu menganggur di halaman. Lucunya keluarga ini sering sekali meninggalkan kunci mobil yang masih menggantung di dalam mobil. Tapi jangan heran, kabarnya tidak pernah terdengar ada kasus pencurian di desa sekecil Laarne.

Sebelum saya, keluarga ini sebenarnya pernah punya au pair asal Afrika Selatan yang sempat juga membuat SIM Belgia langsung di Laarne. Saat itu dia hanya perlu melampirkan SIM asli (yang menurut saya sudah berbahasa Inggris) untuk ditukarkan ke SIM Belgia di balai kota. Setelah itu, akan ada ujian menyetir untuk memastikan kalau dia bisa beradaptasi dengan jalanan di Eropa. Seperti halnya di Indonesia, di Afrika Selatan pun mobil akan melaju di laju kiri. Perbedaan lajur saat menyetir ini sempat membuat au pair ini tidak pede di jalanan Belgia. Sehingga walaupun sudah mendapatkan SIM Belgia, dia sendiri pun tidak pernah menyetir.

Karena takut akan terjadi kasus yang sama, akhirnya keluarga angkat yang kedua ini tidak mewajibkan saya menyetir. Di awal mereka sempat mengatakan, kalau memang sempat, mereka bisa mengajarkan saya terbiasa dulu dengan setir kiri, lalu bersedia membuatkan saya SIM Belgia. Tapi karena mereka sudah cukup sibuk untuk urusan kantor, rencana ini tidak pernah terealisasi.

*

Louise memang tidak mewajibkan saya menyetir di Denmark, namun dia juga tidak keberatan saya memakai mobilnya disaat tertentu. Mengingat saya juga akan tinggal lebih dari satu tahun di Denmark, tidak ada salahnya membuat SIM internasional untuk jaga-jaga. Sambil mengajukan aplikasi visa di Jakarta, sekalian saja mampir ke Korlantas Polri membuat SIM.

Syarat yang dibutuhkan untuk membuat SIM internasional:

1. Dua lembar pas foto terbaru ukuran 4x6 berlatar belakang biru. Sebisa mungkin berpakaian rapih saat di foto, minimum berkemeja. Sebaiknya menggunakan dasi untuk pria dan blazer untuk wanita.

2. Selembar fotokopi dan SIM A asli yang masih berlaku.

3. Selembar fotokopi dan KTP asli yang masih berlaku.

4. Selembar fotokopi dan paspor asli yang masih berlaku.

Five. Selembar materai Rp. 6000.

6. Membayar biaya pembuatan SIM internasional:

- Rp. 250.000 (baru)

- Rp. 225.000 (perpanjangan)

Tempat pembuatan SIM internasional:

KORPS Lalu Lintas Polri (halte TransJakarta terdekat Pancoran)

Jl. MT Haryono Kav. 37-38 Jakarta 12770 Telp: 021-500669

Jam pelayanan: Senin-Jumat jam 08.30-15.00 WIB. Libur untuk hari Sabtu-Minggu dan hari-hari besar lainnya.

Setelah mengambil nomor antrian, saya tidak harus menunggu lama untuk dipanggil ke meja pengumpulan berkas. Saya malah gugup sendiri mengisi formulir pengajuan karena si ibu polisi yang melayani selalu menyemangati untuk buru-buru. Setelah selesai menyerahkan berkas, saya menuju loket untuk membayar biaya pembuatan SIM. Sekitar 2 menit kemudian, saya dipanggil kembali untuk pengambilan foto dan data biometrik dipandu pak polisi yang sangat ramah. Karena harus mengambil information biometrik seperti sidik jari, maka proses pembuatan SIM internasional ini tidak dapat diwakilkan.

Proses pembuatan SIM internasional ini sangat cepat, hanya sekitar 15 menit, lalu kita akan dipanggil kembali untuk mengambil SIM yang telah jadi serta buku panduan mengemudi di seluruh negara. SIM internasional ini pun wujudnya bukan seperti kartu yang biasa kita punya, tapi lebih seperti buku seukuran paspor berwarna biru berisi records diri dalam beberapa bahasa internasional. SIM internasional yang berlaku 3 tahun ini dapat digunakan secara worldwide asal didampingi SIM Indonesia yang asli saat menyetir nantinya.

Tuesday, July 14, 2020

Tips Ternyata Emirates!|Fashion Style

Sebulan sebelum keberangkatan, bahkan sebelum tahu kapan Louise akan membelikan tiket, saya sudah hunting duluan kira-kira maskapai apa yang saya harapkan. Dari daftar Skyscanner, saya selalui menemui Thai Airlines memiliki tarif terendah untuk keberangkatan ke Kopenhagen di awal September. Disusul Aeroflot, maskapai asal Rusia yang saya tidak pernah mendengar sebelumnya.

Saya selalu berharap semoga saja akan terbang lagi dengan pesawat asal Timur Tengah seperti Qatar Airways, Emirates, atau Etihad. Kenapa pesawat Timur Tengah, karena selain bagasinya muat 30kg, makanannya halal, di bandaranya disediakan mushola, dan sudah terkenal memiliki reputasi yang sangat baik di dunia penerbangan. Pesawat Eropa seperti Lufthansa atau KLM memang biasanya mahal, namun yang saya tahu mereka hanya menampung bagasi hingga 23 kg saja. Duh, saya sangat yakin barang yang akan saya bawa memang mendekati 30 kg nantinya!

Selain itu, naik maskapai Timur Tengah menuju Eropa biasanya akan transit dulu menunggu penerbangan berikutnya. Artinya kalau waktu tempuh menuju Eropa bisa sampai 15 jam (di luar waktu transit), 8 jam menuju ke salah satu kota di Timur Tengah, lalu 7 jamnya menuju Eropa. Saya pernah naik pesawat selama 15 jam nonstop dari Amsterdam ke Jakarta dengan Garuda Indonesia dan terus terang saja saya kurang nyaman berada di pesawat selama itu.

Dua minggu kemudian, akhirnya Louise mengirimkan email rekomendasi maskapai apa yang sepertinya akan saya gunakan. Mereka menawarkan Emirates dengan waktu transit 3 jam di Dubai. Saya memang tidak betah lama-lama berada di bandara sendirian. Padahal, kalaupun saya mau jalan-jalan sebentar di Dubai, saya bisa saja menawarkan opsi transit yang lebih lama. Saat itu opsi transit terlama bisa nine hingga thirteen jam.

Luckily, Louise juga menawarkan untuk membayari tiket pesawat dari Palembang ke Jakarta. Karena ibu saya dan si bungsu ingin mengantarkan sampai Jakarta, akhirnya kami sepakat terbang bersama Sriwijaya Air saja, dilanjutkan naik free shuttle bus ke Terminal 2. Kalau tidak ingin repot naik shuttle bus, silakan menggunakan maskapai Garuda Indonesia yang juga akan tiba di Terminal 2.

Bus switch free of charge ini dapat ditemui di depan bagian informasi di dekat gerbang keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta. Busnya memang tidak terlalu besar, tapi seorang "kernet" tetap akan membantu menaruh koper besar kita di bagasi seandainya dalam bus sudah penuh. Tapi tenang saja, bus akan datang tiap 10 hingga 20 menit sekali.

Maskapai dari Timur Tengah biasanya akan berangkat dini hari dari Jakarta. Tidak perlu repot membawa jaket tebal ke dalam pesawat, karena biasanya sudah disediakan selimut oleh pihak maskapai. Berbeda dengan Qatar Airways yang menyiapkan selimut, masker mata, penutup telinga, dan kaus kaki, saya hanya mendapatkan selimut saja saat terbang bersama Emirates.

Lama penerbangan hingga 15 jam, memastikan kita akan mendapatkan dua kali jatah makan besar selain snack. Para awak kabin biasanya akan memberikan menu makanan yang dapat dipilih saat di pesawat. Tapi karena sedikit membatasi pilihan makanan, akhirnya saya reservasi duluan through website sebelum keberangkatan.

Kalau memang sedang diet, ada banyak pilihan makanan yang dapat dipesan sesuai program diet kita. Karena berangkat dini hari, perut saya biasanya sudah menolak diberi makanan terlalu berat. Saya pun memilih menu vegetarian menuju Dubai, lalu menuseafood menuju Kopenhagen. Enaknya reservasi via website, makanan yang saya pesan diantarkan terlebih dahulu oleh awak kabinnya mau dimanapun tempat duduk kita. Jadi tidak perlu didatangi langsung sembari antri menunggu penumpang yang lain.

Saat tiba di Dubai pun, saya tidak bisa lihat toko kanan kiri terlalu lama karena nyatanya 3 jam bukanlah waktu yang panjang. Menuju terminal connection flight, saya harus antri menunggu kereta, dilanjutkan naik lift ke arah terminal yang tepat. Belum sampai sejam saya duduk di ruang tunggu, penumpang ternyata sudah bisa naik ke pesawat diantar oleh bus sebelumnya.What a long journey!

Jam 13.10 CEST, saya sampai di bandara internasional Kopenhagen, mengambil bagasi, lalu keluar bandara menemui Louise dan Brian yang sudah berada di garis depan menyambut saya.

"Welcome to Denmark! Welcome to Copenhagen!", kata Louise hangat sambil memeluk saya diikuti oleh Brian.

Tips Hasil Perburuan Oleh-oleh Khas di Tanah Langka|Fashion Style

Dua minggu ke belakang saya sempat kebingungan kira-kira oleh-oleh khas Indonesia apa yang akan dibawa ke Denmark. Indonesia sangat luas dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Semakin dicari, saya makin kebingungan karena banyaknya benda-benda yang bisa mewakili Indonesia untuk bisa dibawa kesana.

Dari Sumatera ke Irian Jaya, kerajinan tangan etnik-etnik yang super duper cantik dan lucu cukup menggoda untuk dibeli. Contohnya saja kain-kain batik, songket, atau ulos yang sangat Indonesia sekali. Atau ada juga kerajinan tangan seperti miniatur perak, patung-patung kayu, atau topeng khas Bali dan Jawa. Semakin melihat kerajinan tangan khas Indonesia, semakin membuat saya jatuh cinta dengan negeri ini. Orang Indonesia kurang kreatif dan nyeni apalagi coba ya? Dari perhiasan sampai perabotan rumah tangga, semuanya handmade yang dibuat dengan sangat detail.

Sempat terpikir untuk membeli kain atau pakaian batik jadi, tapi sedikit ragu apakah akan dipakai atau tidak. Walaupun batik memiliki motif yang sangat rumit dan cantik, belum tentu mereka suka dengan warnanya. Orang Eropa memang cenderung suka tampil elegan dan simpel dengan mengurangi motif di pakaian mereka. Akhirnya saya skip batik dari daftar oleh-oleh.

Saya juga sempat ingin memesan beberapa kerajinan tangan seperti wayang dari budaya Jawa, patung asmat khas Papua, atau topeng khas Bali through online. Tapi niat tersebut dibatalkan karena saran dari ibu saya untuk mencari oleh-oleh langsung saja di Palembang.

Kalau ingin membawakan oleh-oleh ke luar kota memang mudah saja, ada pempek, kemplang bakar, atau songket. Tapi saya tidak yakin akan membawa makanan basah seperti pempek ke luar negeri. Membawa hasil kain tenunan songket pun sepertinya bukan ide yang terlalu bagus mengingat biasanya kami menggunakan songket saat kondangan atau hari pernikahan.

Berbeda dengan kota-kota di Pulau Jawa dan Bali, Palembang adalah tanah langka untuk mencari macam-macam kerajinan tangan. Palembang memang bukan kota tempat berkembangnya industri kreatif seperti Jogja atau Bandung. Kerajinan kayu atau perak akan sangat mahal dijual di kota ini. Lain halnya jika ingin cari pempek atau makanan kering lainnya, sangat mudah sekali ditemukan dimana-mana. Palembang memang bukan kota seni, tapi kota kuliner.

Sebenarnya terdapat banyak juga toko di Pasar 16 dan Ilir Barat yang menjual songket dan batik Palembang. Beberapa toko ini biasanya juga menjual dompet, tas, wadah tisu, atau gantungan kunci berbahan dasar songket yang harganya cukup murah. Sayangnya miniatur Jembatan Ampera atau pajangan dinding kebanyakan dikemas dengan kotak atau figura kaca yang sangat tidak aman dimasukkan ke koper. Pelabuhan saya berakhir di satu toko kerajinan di daerah Mayor Ruslan, di depan SMKN 6 Palembang.

Sebelum mempopulerkan kota-kota lain di Indonesia, saya membawa oleh-oleh khas Sumatera Selatan ini untuk dipamerkan ke mereka:

1. Kopi khas dari Semendo dan Pagar Alam

Saya memang bukan penikmat kopi, tapi membawakan kopi ini akan selalu membuat saya rindu bertemu nenek. Semendo adalah dusun kecil yang terkenal akan biji kopinya yang khas dan nikmat. Sementara Pagar Alam adalah kota yang berada di kaki gunung Dempo. Kopi Luwak sendiri menggambarkan keaslian kopi Indonesia dari biji kopi hasil eek si luwak yang terkenal mahal itu.

2. Teh khas Dempo

Pucuk teh yang diambil langsung dari puncak Gunung Dempo dan sangat khas Sumatera Selatan sekali. Tehnya juga tanpa bahan pengawet, sehingga tidak kalah dengan teh organik yang dijual di Eropa.

3. Pajangan kayu Jembatan Ampera

Walaupun sangat mainstream, tapi saya ingin ada yang dipamerkan tentang Indonesia di rumah mereka. Sama halnya dengan batik dan wayang yang sudah jadi world heritage, kerajinan kayu ini saya harap bisa juga mewakili salah satu khas-nya Indonesia di Palembang.

4. Make up case songket

Melihat warna-warni cantik songket yang membungkusnya, membuat saya ingin membeli semua tempat pensil atau wadah make up ini. Tapi karena Palembang juga merupakan turunan budaya Cina, jadi warna songket tertua seperti emas dan merah yang saya pilih.

Five. Rupa-rupa gantungan kunci songket

Boneka barbie berbalutkan busana pengantin khas Palembang yang lucu atau dompet songket mini yang juga berfungsi sebagai gantungan kunci ini sama-sama membuat saya tergoda membeli.

Oh ya, sebelum memberikan oleh-oleh dalam bentuk apapun, baiknya kita bertanya dengan pertanyaan pancingan dulu apakah kira-kira barang yang kita bawa akan disukai mereka. Saya yang tadinya ingin bertanya, menemui kenyataan ternyata keluarga ini tidak suka kopi dan teh. Akhirnya karena takut tidak diminum, beberapa kopi dan teh yang sudah saya bawa disimpan dulu untuk keluarga angkat di Laarne. Saya memang sudah berencana berkunjung lagi ke rumah mereka sekalian mengambil barang-barang musim dingin yang sengaja saya tinggalkan. Sementara untuk keluarga di Denmark, saya tinggalkan sebungkus untuk icip-icip tamu.

Rupa-rupa kerajinan tangan di Indonesia memang beragam bentuknya. Tidak perlu juga berpikir terlalu keras dan tidak percaya diri dengan barang apa yang akan kita bawa. Sesungguhnya hal yang paling bermakna dari hadiah atau oleh-oleh bukanlah isi atau rupanya, tapi lebih ke packaging hadiah itu sendiri dan perasaan surprise atau bahagia saat menerimanya.

Tips Tip: Menata Isi Bagasi Ke Luar Negeri|Fashion Style

Entah kenapa suatu kali ingin juga bepergian tanpa membawa tas besar selain tas yang hanya menyangkut di tangan. Saya malas sekali menyortir isi lemari yang harus dibawa ke luar negeri (ataupun luar kota) karena ujung-ujungnya walaupun sudah di-list satu per satu, tetap saja ada yang ketinggalan. But well, it's really true that packing is not for everyone.

Ibu saya sudah menduga kalau koper muatan orang pergi umroh yang sempat saya bawa ke Belgia, tidak akan muat menampung barang-barang yang akan saya bawa ke Denmark. Terlebih lagi beliau sepertinya sudah punya ancang-ancang membelikan saya koper baru yang lebih besar. Benar saja, lima menit sebelum toko ditutup, ibu saya langsung saja menarik salah satu koper, yang memang sudah kami lihat beberapa hari sebelumnya, ke kasir.

Taraaaa.. Akhirnya saya punya koper baru bermuatan 70 liter bermaterial nilon. Saya memang tidak memilih koper bermaterial plastik seperti pilihan orang kebanyakan. Menurut saya, koper bermaterial nilon dengan banyak resleting di luar dan dalamnnya lebih fungsional. Lagipula, koper ini bisa diduduki (baca: dipaksa nutup) kalau memang isinya sudah kepenuhan dan tidak bisa diresleting lagi. ;D

Sewaktu berangkat ke Belgia setahun lalu, saya membayangkan tidak akan membeli banyak barang hingga membawa cukup banyak pakaian ke dalam koper. Nyatanya, banyak juga pakaian yang tidak terpakai dan saya juga harus membuang 60% pakaian saat akan pulang ke Indonesia karena koper tidak muat lagi. Makanya di tahun kedua hijrah ke Eropa kali ini, saya benar-benar sudah menyortir isi lemari yang usable saja. Selain membawa dokumen-dokumen penting, berikut beberapa tip yang semoga bermanfaat saat menata bawaan ke dalam koper.

1. Membawa pakaian yang sering digunakan

Walaupun sudah punya pakaian satu lemari, seorang perempuan biasanya tetap saja merasa tidak punya pakaian. Tapi di antara banyak pakaian itu, pastinya kita punya pakaian andalan yang setiap minggunya selalu dipakai. Nah, bawalah pakaian tersebut dan lupakan membawa pakaian yang di Indonesia saja tidak pernah digunakan.

Agar lebih aman, bawalah pakaian dengan warna dasar seperti hitam, abu-abu, dan putih. Warna-warna pakaian dasar seperti ini selalu cocok di-mix & match dengan warna apapun. Kalau memang kebetulan datang di musim panas, bawa juga beberapa potong pakaian berwarna terang dengan motif seru. Musim semi biasanya identik dengan warna pastel yang lembut, musim gugur lebih sering menggunakan warna earthy seperti cokelat, merah marun, atau krem, sementara musim dingin yang sendu selalu dipenuhi oleh orang yang berpakaian gelap seperti hitam, abu-abu, atau biru tua.

Yakinlah, biasanya kita akan tergoda untuk membeli lagi beberapa pakaian di negara tujuan saat sedang diskon. Membawa pakaian yang sering kita gunakan di Indonesia, setidaknya dapat menghemat isi dompet. Kalaupun memang terpaksa membeli, fokuskan pada pakaian musim dingin yang modelnya lebih classy dan beragam dibandingkan di Indonesia.

Jenis pakaian pun bisa bervariasi dengan memasukkan daftar kaos oblong, tank top, batik atau jenis kain khas Indonesia lainnya, kemeja, blazer, gaun santai, atau rok. Bawa juga beberapa potong kaos kaki, long john (pakaian termal), baju olahraga, stocking hitam, scarf bermotif seru, dan cardigan. Oh ya, bagi yang suka pakai jeans dan kebetulan bertubuh petite khas orang Asia, boleh juga membawa beberapa potong jeans berukuran pas dari lemari. Potongan jeans bule panjang normalnya 29 inchi yang akan membuat ujung jeans menumpuk di mata kaki.

2. Jangan bawa semua sepatu!

Awal-awal kedatangan, saya masih nyaman menggunakan sneakers baseball atau sepatu kanvas yang cocok untuk diajak jalan. Entah kenapa saya merasa banyak sepatu olahraga justru hanya keren dipakai, namun tidak nyaman diajak berjalan jauh. Membawa banyak jenis sepatu pun juga sebenarnya bukannya tidak boleh, tapi sekali lagi, yakinlah kalau kita biasanya juga akan tergoda membeli sepatu lagi sesampainya di negara tujuan.

Namun tidak ada salahnya membawa beberapa jenis sepatu dari Indonesia yang tetap akan terpakai dan membuat kita nyaman berjalan kaki, seperti flat shoes, summer sandals, sneakers baseball, atau sepatu kanvas. Kalau memang ingin tampil kece sesekali, membawa midi heels juga cukup oke untuk jalanan Eropa. Kalaupun tidak sempat membeli boot di Indonesia, tetap bisa membelinya di negara tujuan dengan kisaran harga dan model yang lebih bervariasi.

3. Bawalah makanan atau bumbu-bumbu Indonesia

Makanan Barat kebanyakan hambar atau hanya berasa asin. Membawa sambal sachet bisa membantu menghidupkan rasa saat kita makan di restoran atau kafe. Bawa juga beberapa ruas serai (lemongrass), daun jeruk purut, atau kunyit untuk persiapan masak makanan Indonesia. Atau kalau tidak mau repot, beli saja bahan-bahan tersebut dalam bentuk bubuk. Boleh juga membawa beberapa bungkus mie instan sebagai penghilang rasa kangen di awal-awal. Tapi tidak perlu kebanyakan juga, karena beberapa bahan makanan bisa dengan mudah ditemukan di toko Asia yang ada di negara barat.

4. Gunakan space maker

Space maker sangat berguna untuk menata isi koper kita agar lebih banyak muatan. Belilah space maker dengan ukuran yang bervariasi agar bisa lebih sering digunakan saat bepergian. Gulung dulu pakaian sebelum dimasukan ke dalam space maker, lalu kempiskan dengan bantuan vacuum cleaner agar udara lebih mudah keluar dari kantung.

Tapi jangan salah, walaupun sudah dikempiskan, kita harus cepat menutup isi koper agar space maker tidak kembali mengembung karena kemasukan angin. Baiknya mengempiskan space maker sesaat sebelum kita menutup isi koper agar lebih mudah menata dan menutupnya.

Kebutuhan setiap orang memang tidak sama. Jangan lupa pula masukkan obat-obatan yang biasanya selalu kita gunakan di Indonesia. Seperti saya, yang kalau perut kembung selalu mengoleskan minyak kayu putih, mau tidak mau perlu juga membawa beberapa botol ke Eropa. Yang suka baca buku, tidak perlu juga memenuhi isi koper dengan buku-buku yang cukup memberatkan. E-book yang lebih praktis bisa dengan mudah kita beli dan simpan di ponsel atau laptop. Yang paling penting, perhatikan dulu berapa kilo batas maksimum bagasi maskapai yang akan kita gunakan. Kalau over baggage, siap-siap keluar duit lebih ya. Selamat packing!

Monday, July 13, 2020

Tips Meet the Danish Family|Fashion Style

Rileks. Itulah gambaran pertama yang saya dapatkan dari keluarga baru saya ini. Louise, ibu 3 anak berusia 37 tahun, yang saya lihat di foto sepertinya judes, ternyata aslinya lebih muda dan sweet. Louise benar-benar gambaran wanita Eropa Utara sesungguhnya yang berambut pirang dengan badan (mulai) ramping setelah 3 bulan melahirkan Caesar. Karena kebijakan pemerintah Denmark, Louise mendapatkan jatah cuti melahirkan satu tahun demi mengurus si bayi di rumah.

Berbeda dengan para istri di Eropa yang lebih mendominasi pada umumnya, Louise termasuk istri yang sabar, ikut kata suami, dan lebih pasif. Louise juga sering memanggil suaminya dengan sebutan skat yang artinya sayang (atau dalam bahasa Denmark yang lain, bisa berarti "pajak"). Sementara si suami, Brian, lebih sering memanggil Louise dengan panggilan baby, hunny, atau nama pribadi.

Brian, si bapak yang berusia forty two tahun, memiliki selera humor yang baik, hobi masak, dengan jam kerja yang teratur. Brian yang bekerja sebagai CEO ini, mengepalai perusahaan yang bergerak di bidang alat-alat health. Tidak seperti orang yang terlalu sibuk pada umumnya, Brian sudah berada di rumah sebelum pukul 6, lalu lebih memilih berleha-leha saat akhir pekan.

Anak pertama mereka, Emilia, yang tahun ini berusia 4 tahun sebenarnya sangat lucu dan manis. Tapi kalau mood-nya sedang buruk, wahh, saya bisa diteriak-teriaki hanya karena kesalahan kecil. Gadis kecil ini juga tidak anti dicuil-cuil pipinya ataupun dielus-elus rambutnya. Entah karena gengsi atau kenapa, Emilia tidak pernah memanggil nama saya. Emilia lebih sering memanggil saya dengan sebutan pige (baca: pi)atau artinya gadis muda. Bahkan saat "melaporkan" saya dengan mor (baca: moa) atau far (baca: fa)-nya pun, dia sering sekali mengucapkan "gadis ini atau gadis itu", "selamat malam, gadis!", atau "kasih tahu gadis itu ya...". Padahal pige hanya sebuah panggilan kalau kita memang tidak tahu nama orang tersebut.

Sama seperti anak seusianya, Emilia juga suka sekali diajak bermain. Tapi kalau dia lagi asik main bersama, jangan sampai saya mendadak hilang mood dan menghentikan permainan. Dia akan mengikuti saya ke kamar, naik-naik ke punggung, bahkan sampai menarik-narik baju kalau tidak diperhatikan. Sayangnya, saya hanya bisa bertemu Emilia 3 jam setiap harinya. Selain sekolah, Emilia harus tidur sebelum jam 8 malam. Jadinya saya bisa manyun-manyunan dengan gadis lucu ini saat dia bangun tidur, sarapan, dan makan malam.

Tiga bulan lalu, Louise juga melahirkan anak kembar bernama Nikolaj dan Frederik. Tapi walaupun kembar, mereka berdua benar-benar tidak mirip. Nikolaj yang bermuka bulat dan berat, lebih mirip ke Brian. Sementara Frederik yang lebih mungil dengan hidung lancip, lebih mirip ke Louise.

Sudah dua minggu lebih ini tinggal di rumah mereka, Alhamdulillah, membuat saya terus nyaman. Kesan pertama terhadap keluarga mereka yang hangat dan rileks, membuat saya benar-benar dianggap sebagai keluarga. Walaupun capnya au pair, bantu-bantu bersih rumah, tapi sikap mereka membuat saya benar-benar dihargai. Mereka juga mencetak ulang stiker baru termasuk nama lengkap saya untuk ditempelkan di kotak pos.

Kamar saya ada di basement yang berdekatan dengan toilet dan ruang nonton. Karena mereka memang baru pindah 4 bulan di rumah ini, jadinya kamar saya memang belum fully furnished. Beberapa perabotan yang dibutuhkan akan dibeli bersama untuk mencocokan dengan selera saya. Seminggu kemudian Brian akhirnya mengajak ke IKEA membeli beberapa perabotan seperti meja belajar, karpet, gambar, dan jam dinding dengan nuansa hitam putih yang saya pilih sendiri.

Mereka juga sangat respek dengan apa yang saya makan dan yakini. Karena saya tidak makan daging, mereka juga selalu memastikan salmon atau kod di freezer tersedia. Louise juga sangat menghargai jam-jam ibadah saya yang sebenarnya sangat fleksibel. Untuk urusan kerjaan pun, mereka tipikal keluarga yang tidak cerewet dan sangat santai. Kalau memang bisa dikerjakan sendiri, ya mereka lakukan tanpa harus menyuruh ini itu.

Walaupun berbeda dengan pengalaman au pair saya di Belgia yang lebih seperti guru TK dan kakak tertua, disini saya memang lebih difokuskan mengurus urusan rumah tangga. Untuk urusan Emilia, orang tuanya yang akan mengurus. Belanja bahan makanan pun tidak diberatkan ke saya lagi, hore! Sisanya, saya hanya perlu membantu Louise menenangkan si bayi atau menjaganya saat dia sedang sibuk. Itu juga terkadang ibunya Louise yang akan datang dan mengasuh cucunya. Walaupun kadang sehari saya sering di-list cukup banyak pekerjaan, namun dihari-hari berikutnya saya bisa saja sangat free.

Biasanya juga sebagai orang baru, au pair akan segan atau malas keluar kamar, kalau anggota keluarga ada di rumah. Untuk mengambil makanan di dapur pun kita rasanya enggan dan memilih untuk tahan kelaparan saja di kamar. Tapi karena sikap mereka yang hangat dan netral, saya juga akhirnya tidak segan untuk keluar kamar dan membaur. Saya juga tidak terlalu canggung karena Louise ada di rumah setiap harinya. Louise bukan tipikal ibu-ibu bawel yang selalu ingin tahu apa yang saya kerjakan, makan, dan masak. Setiap berpapasan di rumah pun, dia selalu menebar senyum. What a sweet mom!

Sewaktu di Belgia dulu, entah kenapa saya sedikit malas bergabung makan malam dengan keluarga angkat saya disana. Entah kenapa tidak terlalu banyak yang bisa saya mengerti dari ucapan mereka dan lebih memilih diam. Berbeda dengan disini, saya yang tadinya "dijadwalkan" ikut makan malam semeja sekitar dua kali seminggu, sayanya tidak tahu diri ikut terus dari Senin sampai Jumat. Saya juga tidak canggung lagi karena setiap hari biasanya selalu ada topik yang akan dibahas.

Menurut saya, makan satu meja bisa mengakrabkan semua anggota keluarga. Walaupun di Indonesia saya dan keluarga hanya makan semeja saat bulan Ramadhan, tapi memang momen seperti itulah yang dapat kita manfaatkan berkumpul bersama saat seharian sudah beraktifitas.

Yang saya sebal dari keluarga ini adalah satu, senang sekali buang-buang makanan! Saya ingat betul saat Brian mengambil seikat daun bawang di kulkas, yang jumlahnya mungkin 6 tangkai. Karena yang dibutuhkan hanya 4, sisanya lagi langsung dibuang ke kotak sampah. Oh, damn! Kenapa tidak disimpan di kulkas saja kan ya? Sudah banyak sekali makanan yang terbuang oleh ulah si bapak ini.

Lalu ada juga soal kisah sisa lauk yang biasanya selalu dibuang karena tidak akan mungkin dimakan lagi. Berbeda dengan Indonesia yang biasanya masak sepanci, sisanya masuk kulkas, lalu besoknya dipanaskan lagi. Disini, semua itu tidak berlaku! Tidak habis, ya dibuang. Memang tepat juga sih, mengingat setiap hari menu makanan selalu berubah.  Tapi kan....

"I always try to make or prepare dinner food from clean condiments. That's why I threw away all of the things from few days in the past in fridge. I understand it's wasting cash, but...."

"No problem," kata saya.

"Yes. It is," katanya sambil ketawa.

Horang kayah!

Tips Para Gadis Muda Itu, Apa Yang Memotivasi Mereka Jadi Au Pair?|Fashion Style

Menyadur tulisan Celia V. Harquail tentang motivasi para gadis muda sengaja datang ke US demi jadi au pair, beberapa hal yang dikemukakannya memang benar adanya. Mengasuh anak, membersihkan rumah, atau hanya kursus bahasa, bukankah bisa saja kita lakukan di negara asal? Tidak usah repot-repot membersihkan rumah orang. Membantu membersihkan rumah orang tua ataupun mengasuh sepupu di Indonesia, bisa menghindarkan kita dari ketidakcocokan dengan host family ataupun  kesepian karena jauh dari rumah.

Tapi apa alasan "sesungguhnya" para gadis muda, dari Indonesia khususnya, datang jauh-jauh ke Eropa atau Australia demi (hanya) jadi au pair?

Melihat benua Eropa atau Australia

1. Meningkatkan kemampuan bahasa asing, seperti Jerman, Prancis, atau Belanda

2. Melihat kota-kota terkenal seperti Berlin, Amsterdam, atau Paris

3. Belajar tentang kebudayaan lokal daerah setempat

Melarikan diri dari negara asal

1. Melarikan diri dari jeleknya sistem pemerintahan

2. Melarikan diri dari buruknya kondisi ekonomi

three. Melarikan diri dari paksaan, perceraian, atau kekerasan dari orang tua

4. Melarikan diri dari buruknya kondisi sosial

Melarikan diri ke Eropa atau Australia

1. Berimigrasi secara ilegal (khususnya bagi imigran dari negara sekitar/dalam benua Eropa sendiri)

2. Berharap bertemu calon suami (bule)

3. Mendapatkan izin tinggal permanen (green card) dari si calon suami nantinya

4. Berharap dapat mengganti visa jangka panjang setelahnya disini

Tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan di negara asal

1. Tidak ada prospek kerja yang menarik

2. Tidak ada prospek hubungan asmara yang serius

3. Belum bisa memutuskan antara karir atau pendidikan

four. Setidaknya mendapatkan pengalaman setahun yang menyenangkan

Menemukan jati diri

1. Menciptkan petualangan yang menantang

2. Mengembangkan kemandirian

three. Berusaha lebih dewasa

Bersenang-senang!

1. Berpesta

2. Minum-minum alkohol

3. Jalan-jalan ke banyak tempat

four. Berkencan dengan orang yang tidak disetujui orang tua

five. Mendapatkan pengalaman dalam pergaulan yang "liar" tanpa mementingkan reputasi orang lain

Mempelajari banyak kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di negara asal

1. Meningkatkan kemampuan bahasa asing yang dapat digunakan untuk bekerja

2. Mempelajari kebudayaan Eropa atau Australia

three. Mempelajari sistem pendidikan Eropa atau Australia

Alasan-alasan lain

1. Menabung sebagian uang

2. Mengirimkan sebagian uang ke rumah

3. Belanja, belanja, belanja

four. Melihat Menara Eiffel

Saya sendiri sebenarnya pertama kali memutuskan jadi au pair karena memang sudah muak dengan aktifitas kuliah. Saya harus bangun pagi, rebut-rebutan bus ke kampus, belum lagi macet di jalanan, pressure karena ketidakcocokan dengan jurusan yang saya ambil, hingga memang keinginan yang amat kuat untuk tinggal dan sekolah ke luar negeri dari dulu.

Tapi karena rasa jenuh selepas kuliah, saya akhirnya belum berani terjun langsung ke dunia pekerjaan yang ada hubungannya dengan jurusan yang saya ambil. Masih ada perasaan belum puas terhadap apa yang saya jalani. Walaupun salah satu motivasi saya tamat kuliah karena visa au pair sudah menunggu, saya memang berharap bisa mendapatkan ilmu baru di negeri orang. Pengalaman yang tidak bisa saya dapatkan di Indonesia, maupun ilmu yang memang harusnya saya pelajari di benua lain.

Tips Perayaan Idul Adha di Wisma Duta Denmark|Fashion Style

Ini yang ketiga kalinya saya ketinggalan shalat Ied di tanah rantauan. Tahun lalu, saya dan Anggi, teman au pair asal Bali, harus datang terlambat ke KBRI di Tervuren karena bangun kesiangan. Sementara saat Idul Adha, saya sudah pindah ke Laarne dan cukup jauh menuju KBRI. Tahun ini pun, lagi-lagi saya harus ketinggalan shalat Idul Adha karena salah dapat informasi.

Sehari sebelumnya saya memang sudah menghubungi pihak Kedubes RI di Denmark menanyakan perihal jam shalat. Mungkin karena si bapak yang menerima telepon saya juga lupa, jadinya beliau mengatakan kalau shalat dimulai jam 9 pagi. Beliau juga mengatakan untuk mengecek langsung ke situsnya kedubes karena sudah disebar surat undangan. Saya masuk situs KBRI, mencari-cari undangan yang dimaksud, namun tidak ketemu. Ada juga surat undangan tahun 2013 yang mengatakan shalat dimulai jam 9 pagi. Berbekal informasi yang sudah saya dapat, akhirnya saya sudah mengecek bus yang bisa sampai sebelum jam 9 pagi.

Di Denmark, shalat Ied akan dilaksanakan di Wisma Duta, tempat tinggalnya duta besar RI yang mesti ditempuh selama fifty five menit dari Herlev (baca: Hearlu). Jam setengah 8, saya sudah pamit ke Brian dan Louise demi mengejar bus ke Charlottenlund. Sebenarnya saya juga yakin kalau ada beberapa masjid di daerah yang lebih dekat dari Herlev. Tapi karena saya baru di Denmark, ingin juga langsung berkenalan dengan orang Indonesia yang ada disini. Dibandingkan Belgia, peredaran orang Indonesia di Denmark menurut saya lebih sedikit.

Sempat turun kejauhan gara-gara si sopir malas mengganti pemberitahuan di bus, saya harus turun dan menunggu lagi bus yang menuju arah sebaliknya. Saya juga harus lari-larian kecil mengejar waktu yang sudah nyaris jam 9. Et voila... setelah sampai, seorang bapak yang saya temui sedang memarkir mobilnya di Wisma Duta mengatakan kalau shalat Ied-nya sudah selesai. Tuing!

"Lho, bukannya jam 9 katanya, Pak?"

"Nggak. Diundangannya jam eight, Mbak. Masuk aja tapi, masih ceramah kok di dalam."

Wahh, lagi-lagi saya telat dan melewatkan shalat Idul Adha tahun ini. Jadinya saya ikut duduk saja di shaf paling belakang sambil mendengarkan bagian akhir ceramah. Setelah mengobrol dengan salah satu mbak-mbak di Wisma Duta, saya baru tahu kalau undangan disebar melalui Facebook bukan situs KBRI. Lalu shalat yang harusnya dimulai jam 8 pun baru terlaksana setengah jam kemudian.

Setelah makan gratis, saya juga sempat berkenalan dengan para mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil gelar Master atau Doktor-nya di Denmark. Mungkin karena Idul Adha tahun ini dirayakan pada hari kerja, orang Indonesia yang datang ke Wisma Duta pun tidak terlalu ramai. Selain itu juga, kebanyakan mahasiswa kuliah di Aarhus sehingga untuk datang ke Charlottenlund pun tidak sebentar.  Lain kali mungkin saya shalat dulu saja di masjid atau Islamic Center terdekat dari Herlev, lalu setelahnya baru makan gratis di Wisma Duta. Hah!

Sunday, July 12, 2020

Tips Minggu-minggu Awal di Denmark|Fashion Style

Sama seperti para asing yang baru tiba di Denmark dan berencana tinggal lebih dari three bulan, saya pun juga diwajibkan mengurus surat izin tinggal agar dianggap sah oleh pemerintahan Denmark. Karena Louise memang sedang berada di rumah, dia pun tidak segan membantu saya mengurus banyak hal hingga selesai, walaupun kadang harus membopong keranjang bayi kemana-mana. Lalu apa saja yang harus dilakukan saat awal-awal tiba di Denmark?

1. Mendapatkan CPR Number

Sama seperti nomor induk kependudukan, nomor CPR inilah yang harus saya dapatkan terlebih dahulu sesampainya di Denmark. Nomor ini menjadi begitu penting, karena semua sistem di Denmark akan merekam information diri kita sehingga saat dibutuhkan, hanya tinggal menyebutkan nomor CPR, selesai!

Saya memiliki waktu five hari setelah kedatangan untuk mendaftarkan diri ke balai kota terdekat. Karena saya tiba di Denmark hari Senin, besoknya Louise langsung mengajak ke balai kota Herlev (baca: Hearlu).

Banyak para warga negara asing baik yang berstatus pelajar ataupun ekspatriat mendaftarkan diri mereka di International House Copenhagen. Karena banyaknya aplikasi yang masuk, biasanya sering terjadi penundaan sehingga proses mendapatkan CPR jadi lebih lama. Jadi lebih baik mendaftarkan diri di balai kota yang akan kita tempati langsung.

Proses mengurus CPR pun sangat singkat. Setelah antri menunggu panggilan, saya dan Louise hanya perlu mengisi formulir yang diserahkan oleh petugas. Surat keterangan dari kedutaan serta paspor juga akan difotokopi langsung oleh petugas di tempat.

Biasanya kita bisa langsung mendapatkan nomor CPR hari itu juga. Saya mendapatkan informasi ini dari seorang teman au pair Indonesia yang lebih dulu sampai di Denmark. Tapi karena saya baru tahu beberapa hari setelahnya, dua hari kemudian Louise baru menelepon pihak balai kota. Petugas menyuruh kembali ke kantor balai kota besoknya, lalu menuliskan nomor CPR saya yang sudah bisa digunakan di selembar kertas berstempel.

Tidak sampai 2 minggu kemudian, kartu asuransi berwarna putih-kuning bertuliskan nomor CPR serta kartu izin tinggal diantarkan ke rumah. Kartu berwarna putih-kuning ini adalah kartu kesehatan dan sosial yang dapat digunakan di semua rumah sakit di Denmark. Sementara kartu izin tinggal dengan brand hologram didapatkan dari kantor imigrasi. Saat ingin bepergian ke luar negeri thru bandara, tunjukkanlah kartu izin tinggal ini ke pihak imigrasi, bukan kartu kesehatan berwarna putih-kuning.

Sialnya ada kesalahan nama tengah saya yang ditulis oleh pihak balai kota, sehingga saya harus kembali lagi memperbaikinya. Prosesnya juga sangat singkat. Saya hanya perlu membawa kartu putih-kuning serta paspor untuk ditunjukkan kepada mereka. Setelah mereka mengganti nama saya, tidak sampai 2 minggu kemudian katanya kartu baru akan datang. Sebelum kartu baru datang, saya masih dapat menggunakan kartu lama.

2. Membuka rekening financial institution

Setelah tahu nomor CPR saya, Louise langsung menghubungi financial institution Nykredit. Pihak bank mengatakan saya tidak perlu datang langsung ke bank, karena berkas-berkas bisa dikirim ke rumah. Kurang dari sepuluh hari kemudian, berkas-berkas dari bank sudah datang dan menandai halaman-halaman yang harus saya tanda tangani. Setelahnya, berkas tersebut harus dikirim balik ke pihak bank agar pembuatan kartu ATM dapat langsung diproses.

3. Mendaftar kursus Bahasa Denmark

Selain membuka rekening financial institution, Louise juga segera menghubungi sekolah bahasa yang ada di Ballerup. Cek juga di balai kota yang akan ditinggali apakah terdapat sekolah bahasa Denmark. Beberapa daerah kadang tidak mengadakan kursus bahasa Denmark stage dasar sehingga kita harus mencari sekolah bahasa di kota terdekat lainnya.

Sebelum mulai belajar, biasanya calon siswa harus membuat janji wawancara terlebih dahulu dengan pihak sekolah bahasa. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana stage pendidikan calon siswa serta bahasa kedua yang mereka gunakan.

Setelah proses wawancara yang hanya memakan waktu sekitar 20 menit, staf sekolah mengatakan saya baru bisa mendaftar kalau surat pengantar dari mereka telah diantarkan ke rumah. Surat ini akan memuat degree bahasa saya, waktu belajar, serta informasi lain yang berkaitan dengan sekolah bahasa tersebut.

4. Mengambil NemID

Setelah mendapatkan nomor CPR dan kartu putih-kuning, biasanya akan ada surat pengantar dari balai kota yang mengatakan kita harus datang lagi mengambil NemID. NemID ini berisi urutan angka-angka yang digunakan untuk masuk ke akun financial institution online atau sebagai keamanan sistem digital di net.

Karena saya au pair, maka ada verifikasi data dari pihak balai kota yang mewajibkan Louise harus ikut datang mengambil NemID. Ada hal-hal yang harus mereka tahu dari pihak penanggung tentang keberadaan saya disini.

Begitulah tahapan-tahapan yang harus saya lakukan diawal-awal kedatangan ke Denmark. Alhamdulillah Louise sangat membantu dalam segala hal termasuk menjelaskan ini itu. Setelah semuanya selesai, selamat datang jadi salah satu penduduk sementara negara mahal ini!